Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PEMBANGUNAN PERTANIAN: Cerita Si Kembang dari Salam Jaya

Dia asal Kabupaten Subang, Jawa Barat dan berusia 26 tahun. Kulitnya kuning dengan rambut lurus melebihi bahu. Kesan saya, Kembang adalah orang yang terbukaselain itu, manis pula.
Saya kira, kemiskinan membuatnya memilih Ibu Kota untuk tetap dapat bertahan.
Saya kira, kemiskinan membuatnya memilih Ibu Kota untuk tetap dapat bertahan.

Kabar24.com, JAKARTA - Saya mengingat perempuan itu tak sekadar seorang pemijat profesional. Kami bertemu pertama kali pada November lalu di pusat kesehatan di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saya memilih untuk tidak menuliskan nama sebenarnya—sebut saja Kembang Wangi, karena rentan untuk pekerjaannya.

Dia asal Kabupaten Subang, Jawa Barat dan berusia 26 tahun. Kulitnya kuning dengan rambut lurus melebihi bahu. Kesan saya, Kembang adalah orang yang terbuka—selain itu, manis pula.

Kami membicarakan apapun. Dia kadang bercerita soal kampung halamannya, Desa Salam Jaya, Kecamatan Pabuaran, Subang Jawa Barat. Salah satunya soal kemiskinan. “Banyak teman Kembang yang selesai SMA, langsung cari kerja. Kalau punya uang, mereka biasa kuliah di Bandung. Orang kaya di kampung dapat dihitung. Mereka punya sawah yang luas,” ujarnya.

Subang adalah salah satu kabupaten penghasil beras terbesar di Jawa Barat, selain Kabupaten Karawang dan Kabupaten Indramayu. Data statistik menyebutkan mata pencaharian terbesar di Kecamatan Pabuaran berada di sektor pertanian yakni sekitar 37%, sedangkan sisanya terbagi pada sektor lainnya seperti pertambangan, industri, konstruksi, perdagangan dan angkutan.

Orang tua Kembang adalah pedagang warung kecil. Usai tamat SMA pada 2008, perempuan itu sempat menikah dua kali, tetapi keduanya tak berjalan baik. Pernikahan terakhirnya membuahkan putra berumur 1,5 tahun. Kembang pun memutuskan ke Jakarta pada tahun ini.

Saya kira, kemiskinan membuatnya memilih Ibu Kota untuk tetap dapat bertahan. “Di sana kebanyakan buruh tani, mungkin karena kampung. Banyak yang menganggur, karena ijazahnya minim. Sulit melamar kerja.”

Masalah Kembang, saya kira, tidak hanya terjadi di kampung halamannya sendiri, tetapi juga di perdesaan lain di Tanah Air. Subang relatif mirip dengan daerah lumbung padi lainnya seperti Karawang dan Indramayu.

Ada bentangan sawah yang luasnya lebih kurang mencapai 84.929 hektare. Tetapi ada pula industri yang beroperasi dalam skala besar. Di Kecamatan Pabuaran, misalnya, terdapat delapan industri skala besar dalam pelbagai sektor. Mulai dari rekayasa industri, peleburan baja, pupuk pelengkap, komponen kendaraan hingga produk kulit.

Karawang dan Indramayu serupa, tetapi tak luput dari persoalan kemiskinan. Kesamaan lainnya, perubahan lahan skala besar. Pun sama persoalannya yang masih menghantui negeri ini yaitu kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin. Dan saya mulai memahami masalah Kembang.

KESEJAHTERAAN PETANI

Arus urbanisasi, salah satunya juga disebabkan oleh tak berubahnya kesejahteraan petani. Petani sebenarnya pekerjaan mulia dan menjanjikan dengan catatan memenuhi skala ekonomi yaitu luas lahan sedikitnya 2 hektare.

Sementara sebagian besar petani di Tanah Air hanya memiliki lahan seperempat hektare. Bahkan, tidak sedikit yang hanya menjadi penggarap lahan orang lain dan buruh tani semata.

Dalam riset Perkumpulan Prakarsa pada tahun lalu disebutkan, era kejayaan sektor pertanian di Indonesia telah berakhir sejak 1970. Dalam 20 tahun terahir, transformasi pembangunan ekonomi di Indonesia mengakibatkan perkembangan pesat pada sektor industri dan jasa.

Derasnya arus investasi asing skala besar— sebagai salah satu indikator, semakin mengucur untuk modal peningkatan produk yang berorientasi ekspor. Laporan itu memaparkan rendahnya pertumbuhan sektor per-tanian berimplikasi pada belum optimalnya penurunan jumlah penduduk miskin yang diperkirakan mencapai 28,6 juta jiwa.

Pada 2000—2012, produk domestik bruto sektor pertanian hanya menyumbang sekitar 3,1% per tahun atau jauh di bawah rata-rata pertumbuhan yang mencapai 5,5% per tahun.

“Munculnya kemiskinan di sektor pertanian, disebabkan oleh tidak meratanya akses petani pada lahan dan modal,” demikian Direktur Perkumpulan Prakarsa Setyo Budiantoro. “Rata-rata merupakan buruh tani serta petani gurem yang memiliki lahan 0,5 hektare.”

Perkumpulan Prakarsa merekomendasikan pemerintah untuk memberikan akses terhadap lahan dan modal kepada petani. Salah satunya, penyelesaian ketimpangan lahan. “Kembang tahu berapa banyak pabrik di kampung?” tanya saya. “Tahunya cuma satu. Pungkook [Indonesia One] yang biasa bikin tas untuk ekspor.”

“Mengapa tidak bekerja di sana?” “Kalau Kembang kerja di sana, Mama juga akan jualan lagi. Jadi enggak ada yang jaga anak.”

Saya kira pengembangan industri di kawasan pinggiran menjadi pertumbuhan sekaligus masalah baru. Bisnis, tentunya, membutuhkan lahan segar untuk berkembang.

Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pengelolaan Pasar (Disperindagsar) Subang mencatat dari 21 kecamatan di Kabupaten Subang, rata-rata terdapat 1—30 lebih industri besar yang berada di masing-masing wilayah tersebut. Kecamatan Cipeundeuy sendiri menjadi pusat pabrik terbesar dengan menampung 32 perusahaan dari pelbagai sektor.

Saya juga tak lupa pemerintahan baru Joko Widodo—Jusuf Kalla yang menekankan pembangunan dimulai dari perdesaan. Salah satunya, melalui proyek-proyek infrastruktur skala besar. Ada jalan tol, rel kereta api, pelabuhan, bandara, bendungan hingga pembangkit listrik. Semuanya, membutuhkan lahan skala besar—tentunya pendanaan raksasa pula.

Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun mengingatkan pembangunan model tersebut berpotensi menimbulkan korupsi, sebagai salah satu implikasi pelanggaran HAM. Dan lahan, menjadi persoalan utama.

Saya kira, persoalan lainnya juga adalah pendanaan sektor swasta dan lembaga multilateral seperti World Bank Group maupun Asia Development Bank. Saya kira, laporan Bank Dunia terbaru soal ketimpangan di Tanah Air, juga perlu diperhatikan. Studi itu mengungkapkan ketimpangan di Indonesia terjadi karena empat hal yaitu peluang, pasar tenaga kerja, konsentrasi kekayaan hingga ketahanan terhadap guncangan.

Bank Dunia menyatakan peningkatan perbaikan layanan umum di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten harus dilakukan. Jika tidak, ketegangan sosial akan terjadi dan menghambat pertumbuhan negara.

Ketimpangan inilah yang menjadi kekhawatiran saya—dan mungkin, sebagian orang, untuk masa mendatang. Terutama soal lahan. Wilayah-wilayah pinggiran macam desa-desa di Kabupaten Subang, bukan tak mungkin menjadi basis perebutan lahan kelak. Antara bisnis skala besar, proyek-proyek infrastruktur dan kelompok kecil, macam petani.

Saya kira, konflik agraria akan menjadi salah satu faktor pemicu ketegangan sosial. Entah, apa yang akan terjadi pada para petani dan kemiskinan dalam 5—10 tahun mendatang. “Mas, mau minum apa?” kata Kembang, membuyarkan pikiran saya, sore itu.

“Teh hangat, seperti biasa. Terima kasih.” Minuman pun selesai dinikmati. Pembicaraan kami terhenti. Saya harus berpamitan dengan Kembang, dengan segala cerita sedihnya soal Desa Salam Jaya soal petani, kemiskinan dan jalan hidupnya sendiri. Hari mulai beranjak sore. Mendung masih menggantung di langit Jakarta.()

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (6/1/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper