Kabar24.com, BALIKPAPAN--Pembahasan Raperda RTRW Kalimantan Timur tengah berlangsung alot. Lewat aturan ini, konsistensi Pemrov Kaltim soal moratorium perusahaan pertambangan kembali diuji.
Bisnis batu bara boleh saja meredup, tapi pesonanya tidak akan pernah pudar. Ini terlihat dari draf raperda RTRW Kaltim yang sedang dibahas legislatif.
Rencananya, RTRW ini akan disahkan pada 14 Desember 2015 dalam rapat paripurna. Namun, kedatangan sejumlah aktivis lingkungan ke Karang Paci, markas DPRD Kalimantan Timur, pada Kamis (3/12) membuyarkan rencana tersebut.
Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, mengatakan pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dalam raperda RTRW tersebut. “Dalam telaah awal yang kami lakukan setidaknya ada 21 kejanggalan dalam RTRW tersebut,” katanya, pekan lalu.
Persoalan utama tentu saja tidak jauh-jauh dari bisnis batu bara di provinsi ini.
Dalam beberapa kali kesempatan, Gubernur Awang Faroek Ishak sebenarnya menyatakan telah melakukan moratorium izin perusahaan pertambangan.
Awang mengakui, pelimpahan kewenangan perizinan pertambangan dari kabupaten/kota ke provinsi membawa banyak persoalan yang sulit diurai. Moratorium ini dimaksudkan agar Kaltim bisa meninggalkan industri ekstraktif dan beralih ke sektor yang lebih produktif.
Namun, apa yang terlihat di draf raperda RTRW Kaltim bertolak belakang dengan janji moratorium.
Alih-alih menciutkan lahan pertambangan yang sudah ada, RTRW tersebut justru menunjukkan adanya peningkatan luas lahan pertambangan yang dapat dialokasikan. Data Jatam menyebutkan saat ini luas areal pertambangan di Kalimantan Timur mencapai 5,908 juta hektar atau sekitar 46% dari toal luas wilayah. Ini terdiri dari 4,1 juta hektar IUP dan 1,8 juta hektar Ijin PKP2B.
Dalam lampiran IX draf RTRW justru disebutkan luas areal pertambangan mineral dan batu bara mencapai 8,05 juta hektar. Dengan demikian, ada potensi penambahan luas wilayah pertambangan hingga 2,04 juta hektar di masa mendatang. Kota Bontang yang sebelumnya bukan kawasan pertambangan minerba pun dimasukkan ke dalam daftar wilayah yang boleh ditambang.
Penambahan luas wilayah pertambangan di Kaltim ini tentu mengangetkan banyak aktivis lingkungan. Apalagi sebelumnya Gubenur telah mengeluarkan Pergub No.17 Tahun 2015 tentang Penataan Perizinan Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan. Beleid ini dimaksudkan untuk mencegah penambahan izin baru.
Persoalan lain yang juga menunjukkan kejanggalan adalah soal penetapan luas kawasan karst di Kalimantan Timur. Berdasarkan lampiran VIII draf RTRW rincian kawasan lindung geologi hanya mencantumkan Kutai Timur seluas 86.551 Ha dan Berau 13.360 Ha yang jika ditotal hanya 99.911 Ha.
Padahal, data dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda menunjukkan luas kawasan karst yang terkenal dengan nama Sangkulirang-Mangkalihat ini mencapai 1,8 juta hektar. Kawasan tersebut merupakan hulu dari 5 sungai utama di Berau dan Kutai Timur yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat di 100 desa. Kawasan ini menyuplai air bagi sekitar 105.000 jiwa.
Jika mengacu pada luas bentang karst yang dicantumkan dalam RTRW, luas karst yang diakui hanya 0,9% dari total luas yang sebenarnya. Merah khawatir, penciutan luas bentang karst ini akan dimanfaatkan untuk kegiatan aktivitas pertambangan. Padahal, saat ini BPCB sedang mengupayakan agar kawasan karst tersebut masuk ke dalam daftar warisan dunia yang diakui Unesco agar terlindungi dari aktivitas pertambangan.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Riza Indra Riadi menuturkan keberadaan kawasan karst ini memang menjadi incaran banyak investor. Saat ini tercatat sudah ada 3 perusahaan yang mengantongi izin eksplorasi di wilayah karst ini. Sementara itu, di belakang mereka sudah mengantre banyak perusahaan untuk mendapatkan izin serupa.
Kejanggalan yang banyak ditemukan dalam RTRW ini membuat anggota legislatif memilih untuk menunda pengesahan tersebut. Wakil Ketua Pansus Raperda RTRW dari Fraksi PKB Syafruddin mengatakan pihaknya tidak mau gegabah mengesahkan draf perda yang bermasalah. Dia mengakui penambahan luas wilayah pertambangan tersebut baru diketahui saat melakukan konsultasi akhir ke Kementerian Dalam Negeri saat didampingi Biro Hukum Pemprov Kaltim, Bappeda dan Dinas Perhubungan belum lama ini.
“Pansus akan memanggil pihak terkait untuk mempertanyakan alasan penambahan luas wilayah tersebut,” katanya akhir pekan lalu.
Sementara itu, Baharrudn Demmu yang juga merupakan anggota Pansus merasa pihaknya ditelikung pihak Pemprov. Pasalnya, sejak pembahasan raperda yang dimulai 7 bulan lalu pihak pemprov sama sekali tidak menyebutkan soal penambahan luas areal pertambangan.
“Dari awal kami minta data lokasi tambang tetapi belum diberikan. Kalau belum ada kejelasan saya menolak RTRW ini disahkan,” katanya.
Sementar itu, Kepala Biro Hukum Pemprov Kalimantan Timur Suroto berkelit bahwa penambahan areal pertambangan menjadi 8 juta hektar merupakan draf versi September 2014.
Dia menuturkan dalam draf versi Februari 2015 sudah mengedepankan ekonomo hijau. “Munculnya angka 8 juta hektar itu hanya kekeliruan teknis semata dan tidak ada unsur kesengajaan,” katanya akhir pekan lalu.
Bagi Kalimantan Timur, industri ekstraktif batu bara pernah pada masanya menjadi nadi perekonomian. Namun, dengan semangat perubahan yang diusung pemerintah provinsi, penambahan luas areal pertambangan menimbulkan pertanyaan besar. Benarkah batu bara bisa benar-benar ditinggalkan?