Kabar24.com, JAKARTA—Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bekerja intensif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan potensi pencucian uang dari pemilik perusahaan sesungguhnya, yang bisnisnya beroperasi di Indonesia.
Pemilik perusahaan sesungguhnya atau beneficial owner (BO) secara umum adalah pihak yang benar-benar menerima bunga, deviden atau royalti dari bisnis yang beroperasi di wilayah tertentu. Pengertian itu diperoleh dari Ditjen Pajak melalui surat edarannya yang terbit pada 2005.
Said Imron, petugas pada Direktur Kerjasama Antar Lembaga dan Humas PPATK, mengatakan pihaknya tengah bekerja intensif dengan KPK terkait dengan potensi pencucian uang dan korupsi menyangkut persoalan pemilik perusahaan sesungguhnya. Masalah beneficial owner juga menjadi persoalan yang dibicarakan dalam forum G20 pada 2014.
"Kami diminta memasukkan draf terkait dengan beneficial owner G20, jadi kami saling berkoordinasi," kata Said usai menjadi pembicara pada konferensi bertema Many Voices, One Purpose: The 6th Financial Transparency Conference, Selasa (20/10/2015).
Dia menuturkan peranan KPK sangat penting terkait dengan persoalan BO terutama menyangkut soal pemberantasan korupsi. Said memaparkan upaya itu adalah juga berkaitan dengan siapa yang menjadi pengendali atau pemilik harta sebenarnya.
Said menegaskan sebagian pihak semakin pintar untuk menghindari keterkaitan kepemilikan dengan dugaan kejahatan yang dilakukan, karena bisa menggunakan pihak ketiga.
Oleh karena itu, PPATK mewajibkan para pihak pelapor—seperti lembaga keuangan—mengetahui detil siapa nasabahnya dengan prinsip Know Your Customer (KYC), Customer Due Dilligence (CDD) dan Enhanced Due Dilligence (EDD).
Said juga menuturkan bahwa dirinya meminta Kementerian Hukum dan HAM membuat regulasi terkait dengan Registrasi Publik, yang berguna untuk mengetahui siapa pemilik perusahaan sesungguhnya.
Selama ini, data yang dimiliki oleh Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, hanya sebatas data yang diberikan notaris. "AHU hanya menyampaikan informasi yang disampaikan notaris. Mereka tak memiliki kewenangan untuk mengetahui siapa BO," kata Said.
Persoalan pemilik perusahaan sesungguhnya mencuat terkait dengan temuan Global Financial Integrity (GFI). Organisasi yang berbasis di Washington D.C itu menyatakan aliran dana haram periode 2003-2012 mengalami peningkatan menjadi US$991,3 miliar dari sebelumnya US$297,41 miliar. GFI menyatakan aliran dana ilegal biasanya bersumber dari kesengajaan kesalahan pencatatan dalam neraca pembayaran dan adanya perdagangan melalui faktur palsu.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengestimasi dana ilegal semua sektor industri di Indonesia dalam 12 tahun terakhir mencapai Rp2.190 triliun. Estimasi PWYP berdasarkan data kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) seluruh sektor, yang diolah melalui Balance of Payment Indonesia dan Direction of Trade Statistic milik the International Monetary Fund (IMF) periode 2003-2014.
PERUSAHAAN INDUK
Heather Lowe, Direktur Hubungan Pemerintah GFI, mengatakan pihaknya mendorong negara-negara untuk membuat Registrasi Publik atas pemilik perusahaan sesungguhnya. Tak hanya itu, GFI juga mendorong agar perusahaan untuk memiliki Legal Entity Identifier (LIA), terutama perusahaan yang melakukan bisnisnya secara internasional.
Dia menuturkan sistem LIA setidaknya dapat membantu untuk mengetahui perusahan induk utama dari bisnis tertentu, walaupun bukan pada pemilik perusahaan sesungguhnya. Heather memaparkan sistem LIA akan diterapkan ketika perusahaan melakukan transaksi di mana pun.
LIA, papar Lowe, merupakan langkah awal untuk mengetahui hirarki perusahaan sebelum akhirnya memperoleh data pemilik perusahaan sesungguhnya. Ini juga berguna untuk mencegah untuk pidana pencucian uang dan penghindaran pajak.
"Juga terkait dengan pengadaan barang pemerintah, perusahaan mana saja yang mendapatkan keuntungan. Dengan LIA, bisa saja mereka memiliki perusahaan induk yang sama," katanya.
Direktur Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro mengatakan revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan perlu dilakukan terkait dengan upaya mengetahui siapa penerima manfaat sesungguhnya. Dia mengatakan saat ini tak ada regulasi yang benar-benar mengatur mengenai data perusahaan dengan pemilik perusahaan sesungguhnya, yang selama ini menerima hasil dari aktivitas perusahaan.