Kabar24.com, JAKARTA — Hasil Survei Persepsi Korupsi 2015 di 11 kota oleh Transparency International Indonesia menunjukkan adanya efektivitas program antikorupsi di Tanah Air.
Sesuai dengan survei yang dilakukan serentak dengan metode stratified random sampling kepada 1.100 pengusaha di 11 kota tersebut, terungkap bahwa indeks persepsi korupsi di 11 kota sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan indeks persepsi korupsi nasional dengan skor 34 yang dilansir lembaga itu pada periode sebelumnya.
Skor tersebut diperoleh dari skala 0-100 yang berarti 0 sangat korup dan 100 berarti sangat bersih.
Sesuai Survei Persepsi Korupsi 2015, Kota Banjarmasin memperoleh skor tertinggi—paling bersih—dengan skor 68.
Selanjutnya, Surabaya memperoleh skor 65, Semarang memperoleh skor 60, Pontianak 58, Medan 57, dan Jakarta Utara juga meraih skor 57.
Kota Manado memperoleh skor 55, Padang 50, Makassar 48, serta Kota Pekanbaru memperoleh skor 42.
Adapun indeks terendah disematkan untuk Kota Bandung dengan skor 39.
Wahyudi Thohary, peneliti Indeks Persepsi Korupsi 2015 dari Transparency International Indonesia, mengatakan skor-skor korupsi tersebut membuktikan adanya efektivitas pemberantasan korupsi serta akuntabilitas pendanaan publik yang dilakukan pemerintah.
Menurutnya, survei tersebut menunjukkan adanya perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik di lembaga-lembaga pemerintahan.
“Tidak kalah penting, penurunan potensi korupsi juga disumbang oleh perbaikan persepsi terhadap sektor terdampak korupsi, penurunan kelaziman korupsi, serta penurunan motivasi korupsi,” katanya saat peluncuran laporan Survei Persepsi Korupsi 2015 di Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Kendati demikian, paparnya, survei tersebut masih merekam adanya sektor publik yang dipersepsikan korup.
“Responden masih menilai lembaga kepolisian, legislatif, dan peradilan sebagai sektor yang paling korup,” ujarnya.
Survei itu mengungkap, jenis usaha yang memiliki kelaziman suap paling tinggi antara lain sektor minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan mempunyai prevalensi suap paling tinggi.
Adapun sektor yang memiliki potensi suap rendah adalah sektor pertanian, transportasi, dan sektor hotel dan restoran,” lanjutnya.
Hasil survei tersebut merinci, jelasnya, sektor lapangan usaha yang memiliki alokasi suap terbesar adalah sektor konstruksi dengan rerata alokasi suap sebesar 9,1%; jasa dengan rerata alokasi suap sebesar 7,4%; serta minyak dan gas dengan rerata alokasi suap sebesar 7,2%.
Adapun sektor yang memiliki alokasi suap terendah adalah pertanian alokasi suap 3,5%; perikanan dengan rerata alokasi suap 3,3%; dan kehutanan dengan rerata alokasi suap 3,2%.
Untuk menekan terjadinya korupsi, paparnya, pengusaha harus memiliki desain pencegahan yang selaras dengan sistem integritas perusahaan.
“Kami merekomendasikan agar perusahaan membentuk aliansi bisnis bersih dalam kelompok bisnis yang serupa.”
Deputi Pencegahan KPK Cahya Hardeyanto Harefa dalam acara pemaparan survei itu memaparkan aktor dari pelaku usaha adalah pelaku tindak pidana korupsi nomor dua setelah pegawai negeri sipil.
Hal itu berdasarkan pada penanganan tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.
“Jadi pihak swasta cukup besar dalam melakukan tindak pidana tersebut,” kata Cahya saat memberikan sambutannya, kemarin.
Pada tahun lalu, KPK menggandeng sektor telekomunikasi, jasa perjalanan wisata, dan perbankan terkait dengan upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
Lembaga itu mengharapkan adanya deteksi dini untuk mencegah tindak pidana korupsi.
Daya Saing
Hasil survei itu juga menyimpulkan adanya bukti empirik bahwa persepsi korupsi di daerah memiliki hubungan erat dengan penurunan daya saing serta penurunan kemudahan berusaha di daerah.
Menurut Wahyudi, daerah yang relatif bebas korupsi memiliki daya saing dan kemudahan berusaha yang tinggi.
“Sebaliknya, daerah yang relatif korup memiliki kemudahan berusaha yang rendah,” ujar Wahyudi.
Menanggapi hasil survei itu, anggota komisi III DPR dari fraksi PKS Muhammad Nasir Djamil menganggap bahwa korupsi yang terjadi di Tanah Air sudah berlangsung secara sistemik sehingga sehingga perlu menggunakan pendekatan sistemik pula dalam memberantas korupsi.
Untuk itu, paparnya, Pemerintah melalui penegak hukum harus terus memperkuat gerakan antikorupsi berbasis masyarakat dengan mengembangkan gerakan nasional antikorupsi.
“Hal ini penting untuk dilakukan untuk menggenjot skor indeks persepsi korupsi,” ujarnya.
Hal senada diungkap oleh ketua Pusat Studi Hukum Pidana (PSHP) Universitas Trisakti Yenti Garnasih.
“Perlu ada strategi jitu untuk memasifkan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Tanah Air,” katanya saat dihubungi.
Saat ini, jelasnya, pemerintah harus segera membuat sistem agar semuanya transparan.
“Dengan transparansi, semua pihak bisa mengontrol dan dikontrol untuk tidak melakukan korupsi,” kata Yenti yang saat ini masih tercatat sebagai anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK.