Bisnis.com, JAKARTA—Kendati kuasa hukum dari pihak tergugat belum lengkap, Majelis Hakim menetapkan perkara gugatan yang dilayangkan PT Sandipala Arthaputra menyangkut persoalan KTP elektronik untuk memasuki proses mediasi.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan para pihak untuk emasuki proses mediasi meskipun kuasa dari tergugat I dan tergugat II belum hadir dengan membawa surat kuasa.
Seperti diketahui, dalam perkara ini Sandipala juga menggugat produsen chip asal Singapura, Stmicroelectronics N. V. (tergugat I) dan Vincent Pierre Luc Cousin (tergugat II). Namun, yang hadir di persidangan hanya kuasa hukum Perusahaan Umum Percetak Negara (Perum PNRI) sebagai tergugat III.
Ketetapan hakim tersebut disetujui oleh kedua pihak. Dalam persidangan pula, kuasa hukum Sandipala, Paulus Wijaya mengaku proses persidangan sudah memakan waktu yang lama hanya untuk membahas masalah surat kuasa dari tergugat I dan tergugat II. Sebagai gambaran, perkara ini sudah memakan waktu 208 hari sejak didaftarkan.
Meski surat kuasa dari tergugat I dan tergugat II tak ada, tapi di dalam persidangan perwakilan keduanya hadir. "Kami hadir untuk mengamati persidangan dan sampai sekarang kami masih belum menerima kuasa penuh dari prinsipal," ungkap Leonard Arpan Aritonang, perwakilan dari tergugat I dan tergugat II seperti dikutip Bisnis.com, Jumat (11/9/2015).
Kepada majelis hakim, Leonard menjelaskan prinsipal belum mau memberikan kuasa penuh lantaran Dua hal. Pertama, Sandipala dianggap telah melanggar penetapan yang sudah ada. Penetapan tersebut berasa dari Pengadilan Tinggi Singapura yang menyebutkan Sandipala dilarang menggugat Stmicroelectronics N. V. dan Vincent Pierre Luc Cousin di negara lain.
Sebelum gugatan ini dilayangkan, Sandipala pernah menggugat kedua perusahaan itu di Pengadilan Tinggi Singapura pada 2012 lalu dan telah menghasilkan penetepan tersebut.
Kedua, berdasarkan pengakuan dari Stmicroelectronics N. V. dan Vincent Pierre Luc Cousin, pihaknya belum menerima panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena pemanggilan salah alamat.
"Stmicroelectronics N. V. dan Vincent Pierre Luc Cousin tidak memiliki kantor di Indonesia," imbuh Leonard.
Kendati demikian, mediasi tetap berjalan karena majelis menilai tidak menjadi masalah jika tergugat I dan tergugat II belum memiliki kuasa. "Kalau sudah ada surat kuasa maka tergugat I dan tergugat II bisa segera bergabung," terang Arifin. Majelis juga menetapkan Suradi sebagai mediator dalam proses mediasi.
Perkara dengan nomor 67/PDT.G/2015/PN JKT.PST ini akan dilanjutkan setalah majelis hakim menerima hasil mediasi selama 40 hari.
Kasus ini bermula ketika Sandipala dan Perum PNRI menjalin kerja sama melalui sejumlah pengesahan perjanjian yakni Akta Perjanjian Pembagian Hak dan Kewajiban Para Anggota Konsorsium No. 29 pada 9 Juni 2011 dan Akta Perubahan Pertama Akta Perjanjian Pembagian Hak Dan Kewajiban Para Anggota Konsorsium No. 57 pada 26 Juli 2011.
Selain itu, Akta Perjanjian Pembagian Hak Dan Kewajiban Perum PNRI-Sandipala Nomor 58 pada 26 Juli 2011, Akta Perubahan Kedua Akta Perjanjian Pembagian Hak Dan Kewajiban Para Anggota Konsorsium No. 28 pada 12 Oktober 2011.
Penggugat juga menjalin kesepakatan Bersama Untuk Proyek KTP Elektronik dengan Perum PNRI pada 24 Oktober 2011. Dalam perkembangannya, penggugat mengklaim PNRI telah melakukan perampasan sebagian porsi pekerjaan personalisasi dan distribusi KTP elektronik.
Adapun, hak pekerjaan penggugat yang semula sebanyak 172 juta keping berkurang menjadi hanya 60 juta keping. Tindakan tersebut menyebabkan Sandipala menderita kerugian materiil senilai Rp881,65 miliar. Sandipala juga menuntut biaya kerugian immateriil Rp50 miliar.