Bisnis.com, JAKARTA—Badan Reserse dan Kriminal Polri dianggap terlalu represif dalam menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam menangani dugaan penghinaan yang melibatkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita dan tiga aktivis antikorupsi lainnya.
Supriyadi W Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan bukti yang diajukan dalam kasus dugaan penghinaan Romli Atmasasmita oleh tiga orang aktivis anti-korupsi tidak relevan, karena hanya berupa salinan pemberitaan media dalam jaringan atau online.
“Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam kasus ini tidak relevan, karena tidak ada media elektronik yang digunakan oleh penggiat anti-korupsi dalam dugaan penghinaan itu,” katanya di Jakarta, Selasa (30/6).
Supriyadi menuturkan ada sejumlah keanehan dalam penindakan laporan Romli, seperti berubahnya pasal yang digunakan Bareskrim Polri. Awalnya, Romli melaporkan aktivis Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo dan Emerson Yuntho, serta mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Said Zainal Abidin dengan Pasal 310 dan 311 KUHP.
Pasal tersebut digunakan, karena pemberitaan yang diduga menghina Romli didapat dari pemberitaan media massa hasil konferensi pers yang dilakukan ketiganya. Akan tetapi, pada perkembangannya, Bareskrim Polri justru menggunakan UU ITE.
“Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat mudah digunakan dengan sewenang-wenang, karena memiliki ancaman pidana enam tahun,” ujarnya.
Ancaman pidana yang lebih dari lima tahun tersebut langsung mengaktifkan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sehingga memberikan celah agar para tersangka dapat dikenai penahanan.
Hal tersebut berbeda dengan pengaturan penghinaan di Pasal 310 KUHP dengan ancaman pidana 9 bulan penjara dan Pasal 311 KUHP dengan ancaman pidana selama-lamanya 4 tahun pidana, sehingga dengan kondisi yang sama tidak dapat dilakukan penahanan.