Kabar24.com, JAKARTA — Jokowi dinilai akan cenderung memilih mengganti menteri dari partai politik (parpol) pendukung di luar PDIP jika dibandingkan dengan me-reshuffle menteri dari kalangan profesional.
Arya Fernandes, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan Jokowi lebih cenderung mengganti menteri dari partai politik (parpol) lain.
“Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi permintaan PDIP yang sudah menyatakan keinginannya agar mendapatkan porsi menteri lebih banyak jika dibandingkan dengan partai pendukung lain saat pilpres 2014 seperti PKB, PPP, Partai NasDem, dan Partai Hanura,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (17/8/2015).
Saat ini dalam kabinet kerja ada 14 menteri dari 34 pejabat Kabinet Kerja yang berasal dari parpol a.l. lima menteri dari PDIP, tiga menteri dari NasDem, tiga dari PKB, dua dari Hanura, dan satu dari PPP.
Menurutnya, opsi Jokowi memperkecil jumlah menteri dari parpol pendukung selain PDIP tersebut bukan tanpa risiko. “Bukan tidak mungkin, sejumlah parpol yang kadernya digusur dari Kabinet Kerja justru membalikkan arah dukungannya.”
Padahal, Jokowi sangat memerlukan penguatan dukungan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)—nama afiliasi partai pendukung Jokowi saat Pilpres 2014— untuk memuluskan kebijakannya di DPR. “Membina hubungan dengan parpol pengusung itu penting untuk penguatan dukungan pemerintah di DPR,” ujarnya.
Namun demikian, pilihan tersebut adalah opsi yang paling mungkin diambil Jokowi lantaran sangat berisiko mampu membunuh kepercayaan publik.
“Dengan me-reshuffle menteri dari kalangan profesional, publik bisa menuding Jokowi tidak lagi mendukung kabinet profesional,” jelasnya.
Selain itu, Jokowi juga akan berhadapan dengan media yang mendukung Kabinet Kerja diisi oleh profesional.
“Survei juga sudah membuktikan bahwa menteri dari profesional lebih jago dalam hal mengeksekusi kebijakan. Jadi, kecil kemungkinan Jokowi mengganti menteri dari profesional,” katanya.
Namun demikian, paparnya, reshuffle kabinet kerja bukan merupakan hal yang mudah bagi Jokowi. “Ada dilema tersendiri jika mengganti menteri dari parpol maupun profesional.”
Tapi, lanjut Arya, reshuffle harus tetap dilakukan menyusul adanya menteri yang belum sejalan dengan kebijakan Jokowi sebagai kepala negara. “Terutama menteri di bidang ekonomi. Mereka belum sinkron dengan Jokowi.”
Hal senada diungkap Ichsanuddin Noorsy, pengamat Politik dan Ekonomi. “Ada ketimpangan kebijakan yang diambil oleh menteri-menteri di bidang ekonomi. Salah satunya adalah gagalnya stabilisasi nilai tukar rupiah dan pengendalian harga bahan pokok,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPR Setya Novanto berpendapat reshuffle kabinet perlu segera dilakukan agar bisa tercapai pemerintahan yang lebih baik.
“Ada beberapa menteri yang memerlukan pembinaan lebih jauh,” kata Setya Novanto yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar.
Menurutnya, periode enam bulan masa kerja merupakan waktu yang tepat untuk mengadakan evaluasi. “Kita serahkan saja kepada Presiden untuk menentukan menteri-menteri yang dianggap bisa menunjang programnya.”
Daftar Menteri Kabinet Kerja dari Partai Politik
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan: Tedjo Edy Purdjiatno (NasDem)
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Siti Nurbaya (NasDem)
Menteri Agraria dan Tata Ruang: Ferry Mursyidan Baldan (NasDem)
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan: Puan Maharani (PDIP)
Menteri Dalam Negeri: Tjahjo Kumolo (PDIP)
Menteri Hukum dan HAM: Yasonna H Laoly (PDIP)
Menteri BUMN: Rini M Soemarno (PDIP)
Menteri Koperasi dan UMKM: AAGN Puspayoga (PDIP)
Menteri Tenaga Kerja: Hanif Dhakiri (PKB)
Menteri Pemuda dan Olahraga: Imam Nahrawi (PKB)
Menteri PDT dan Transmigrasi: Marwan Jafar (PKB)
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara: Yuddy Chrisnandi (Hanura)
Menteri Perindustrian: Saleh Husin (Hanura)
Menteri Agama: Lukman Hakim Saifuddin (PPP)
(Diolah dari berbagai sumber)