Kabar24.com, JAKARTA— Terpidana mati asal Brasil Rodrigo Muxfeldt Gularte yang didiagnosa menderita schizophrenia dan gangguan jiwa bipolar ternyata tidak mengerti atas apa yang terjadi pada dirinya sebelum meninggal di depan regu tembak, Rabu dini hari kemarin.
Hal itu disampaikan oleh oleh pembimbing rohani kepada radio ABC Australia sebagaimana dikutip Channelnewsasia.com, Kamis (30/4/2015).
Gularte merupakan salah seorang dari delapan terpidana kasus narkoba yang dieksekusi mati. Mereka berasal dari berbagai negara termasuk dua orang dari Australia.
Pemerintah Brasil telah beberapa kali memohon agar hukuman mati itu dibatalkan mengingat penyakit jiwa yang diderita Gularte dan atas alasan kemanusiaan. Namun hukuman mati tetap berjalan sesuai rencana.
Father Charlie Burrows, pembimbing rohani yang mendampingi Gularte hingga beberapa jam sebelum eksekusi dilaksanakan, mengatakan dirinya ikut menyiapkan warga Brasil tersebut sebelum menghadapi kematian.
"Saya pikir saya telah membuatnya siap untuk diikat dengan rantai karena dia tidak suka disentuh... Saya katakan padanya, saya sekarang berusia 72 tahun, ketika kamu terbangun di surga kamu akan tahu di mana saya hidup dan menyiapkan sebuah taman untukmu,” ujar Burrows.
Gularte tampak tenang saat tangannya diborgol oleh petugas. Namun tiba-tiba dia marah ketika diserahkan ke aparat kepolisian di luar penjara yang memasangkan rantai pada kakinya, cerita Burrows.
"Saya pikir dia sudah paham pesan tersebut bahwa dia akan dieksekusi, namun...ketika rantai dipasang dia berkata kepada saya, Oh Bapak, saya akan dihukum mati?,” ujar Burrows penuh tanya.
Rodrigo Gularte yang masuk dalam eksekusi tahap kedua terlibat kasus penyelundupan 19 kilogram pada tahun 2014 dan grasinya telah ditolak Presiden Jokowi, dilaporkan mengalami gangguan jiwa sejak kecil.