Bisnis.com, JAKARTA--Jaksa Agung H.M. Prasetyo menilai pengajuan gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dilakukan oleh terpidana hukuman mati yang grasinya ditolak oleh presiden sebagai upaya mengulur waktu.
"Meskipun sebenarnya untuk PTUN itu bonus juga. Tidak lazim kan. Kalau sudah tuntas, sudah final, tinggal atur waktu kapan pelaksanaan putusannya," kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (7/4).
Menurutnya, langkah Kejaksaan Agung menunggu tuntasnya proses hukum di PTUN merupakan langkah menghormati proses hukum. Setelah permohonan grasi ditolak presiden, imbuhnya, tidak perlu ada upaya hukum lain.
"Semua orang tahu bahwa grasi itu kan bukan bagian objek gugatan PTUN, apalagi MK. Ke MK itu bukan untuk masalah perkara itu, untuk perkara yang lain," lanjutnya.
Prasetyo menilai dilayangkannya gugatan ke PTUN merupakan upaya penasehat hukum terpidana hukuman mati untuk mengulur waktu eksekusi. Beberapa terpidana mati yang mengajukan gugatan ke PTUN adalah dua terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, serta Mary Jane Viesta Veloso asal Filipina. Gugatan duo Bali Nine ditolak oleh PTUN Jakarta pada Senin (6/4).
"Ya itulah, semua orang tahu grasi itu hak prerogatif presiden dan itu diatur konsistusi. Tidak ada pihak lain mana pun yang bisa mengubah. Ketika itu diajukan lagi upaya hukum lain, apalagi namanya kalau bukan ulur waktu?" pungkas Prasetyo.
Saat ini, Kejaksaan Agung masih menunggu keputusan gugatan PTUN yang diajukan oleh tiga terpidana hukuman mati, yakni MAry Jane Viesta Veloso, Sylvester Obiekwe Nwolise dan Serge Areski Atlaoui.
"Kita berharap putusannya akan segera turun," imbuhnya.
Setelah proses hukum rampung, Kejaksaan Agung akan menggelar eksekusi mati gelombang II secara serentak. Pertimbangannya agar lebih efisien dan efektif dari sisi biaya dan pengamanan.