Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Pengolahan di Jateng Tumbuh 6,8%

Bank Indonesia mencatat struktur perekonomian Jawa Tengah pada triwulan IV/2014 masih didominasi oleh sektor industri pengolahan yang tumbuh diangka 6,8% year on year (y-o-y).
Bank Indonesia mencatat struktur perekonomian Jawa Tengah pada triwulan IV/2014 masih didominasi oleh sektor industri pengolahan yang tumbuh diangka 6,8% year on year (y-o-y)./bisnis.com
Bank Indonesia mencatat struktur perekonomian Jawa Tengah pada triwulan IV/2014 masih didominasi oleh sektor industri pengolahan yang tumbuh diangka 6,8% year on year (y-o-y)./bisnis.com

Bisnis.com, SEMARANG — Bank Indonesia mencatat struktur perekonomian Jawa Tengah pada triwulan IV/2014 masih didominasi oleh sektor industri pengolahan yang tumbuh diangka 6,8% year on year (y-o-y).
 
Membaiknya kinerja industri pengolahan terkonfirmasi dari perkembangan impor bahan baku yang meningkat. Nilai impor bahan baku mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya dan masih mencatatkan laju pertumbuhan tahunan yang positif.

Kepala BI Provinsi Jateng Iskandar Simorangkir mengatakan pertumbuhan industri pengolahan mengingat tingginya impor bahan baku terhadap total keseluruhan impor di Jateng. Peningkatan nilai impor bahan baku diharapkan dapat mendorong peningkatan kinerja industri pengolahan pada triwulan selanjutnya, walaupun relatif melambat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 9,7% (y-o-y).

“Kalau saya lihat pertumbuhan ekonomi di Jateng dikontribusikan dari industri pengolahan. Justru industri ini diuntungkan dengan adanya depresiasi rupiah terhadap dolar AS,” papar Iskandar kepada Bisnis, Kamis (5/3/2015).

Pihaknya mengatakan pertumbuhan ekonomi terjadi hampir pada semua sektor utama yakni sektor perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil sepeda motor, terkecuali sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.

Iskandar mengatakan perekonomian Jateng pada triwulan I 2015 diperkirakan akan terus meningkat atau lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (y-o-y), namun lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014 karena pengaruh musiman.

“Kinerja ekspor diperkirakan mulai membaik, namun masih tumbuh terbatas di tengah kondisi ekonomi Eropa dan Tiongkok yang belum membaik,” paparnya.

Di sisi lain, permintaan domestik khususnya konsumsi rumah tangga masih relatif tinggi dan masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Dari sisi sektoral, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan meningkat. Namun, peningkatan ini akan tertahan oleh sektor perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil-sepeda motor yang diprediksi akan melambat.

Perlambatan ini terkait koreksi dari penjualan di akhir tahun yang cenderung tinggi sesuai dengan pola musimannya. Selain itu, indeks penjualan riil Januari dan Februari (survei pedagang eceran) juga menunjukkan adanya penurunan dibandingkan triwulan IV 2014.

Dari sisi perkembangan harga, tekanan inflasi pada triwulan I 2015 diperkirakan menurun. Sampai dengan Februari 2015, Jateng mengalami deflasi sebesar 0,97% year to date(y-t-d), dan mencatatkan inflasi tahunan sebesar 5,77% (y-o-y). Deflasi ini merupakan dampak dari pengurangan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di awal tahun.

Secara gradual, penurunan harga BBM mempengaruhi tarif angkutan dan berdampak pada berkurangnya tekanan harga di kelompok volatile foods. Terlebih dengan adanya musim panen untuk beberapa komoditas yang sudah dimulai, sehingga meningkatkan pasokan, terutama untuk komoditas cabai.

Kondisi tersebut dapat berujung pada membaiknya ekspektasi masyarakat sehingga dapat menjaga kestabilan inflasi inti. Dalam satu bulan ke depan, tekanan harga diperkirakan akan sedikit meningkat, mempertimbangkan kenaikan harga beberapa komoditas administered prices di awal bulan. Dengan memperhitungkan berbagai hal tersebut, Bank Indonesia masih meyakini inflasi IHK Jateng 2015 dapat mencapai target sebesar 4,0% ± 1%.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jateng Eddy Raharto mengakui pelemahan rupiah belakangan ini sangat memukul dunia industri dalam negeri.

Pasalnya, sebagian besar eksportir di Jateng merupakan pelaku industri tekstil dan produk tekstil yang bahan bakunya bergantung pada impor, seperti kapas.

“Kami tetap belanja bahan baku impor dengan nilai dolar, dan menjualnya dengan harga dolar juga,” kata Eddy.

Pihaknya mengatakan kontribusi impor bahan baku pada produk tekstil mencapai 90%, sehingga pelaku usaha eksportir tetap terkena dampak yang cukup signifikan. Belum lagi, ujarnya, pelaku usaha garmen mendapat tantangan berat akibat kenaikan upah minimum regional dan harga BBM bersubsidi yang cenderung fluktuatif.
Eddy menerangkan keuntungan pelaku eksportir tidak seimbang dengan dampak pelemahan rupiah yang berimbas sekitar 20%.

“Misalnya saja kami dapat untung ada pelemahan rupiah sekitar 10%, namun efek pelemahan rupiah bisa mencapai 20%, kan ujungnya tetap merugi,” terangnya. 

Eddy meluruskan anggapan dari kalangan masyarakat luas bahwa pelaku eksportir mengambil keuntungan besar saat rupiah melemah. Kenyataannya, ujarnya, pelaku eksportir yang tidak bergantung pada bahan baku impor dipusingkan dengan buyer yang menuntut potongan harga atau diskon.

Buyer kami itu sangat cerdik. Tahu rupiah melemah, mereka minta potongan harga,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Khamdi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper