Kabar24.com, JAKARTA— Politikus PDIP, Andreas Pareira, tidak berkeberatan namanya masuk dalam bursa calon kepala Badan Intelijen Negara (BIN) oleh sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).\
SIMAK: Gara-gara Jokowi Siswa di Bogor Lebih Cepat Masuk Sekolah
"Tidak ada masalah, kalau dicalonkan tentu saya siap," ujar Andreas saat dihubungi, Selasa (24/2/2015).
Menurut Andreas tidak ada larangan bagi kelompok masyarakat maupun lembaga untuk mengusulkan calon kepala BIN. Namun, keputusan akhir tetap ada di tangan Presiden Joko Widodo. Hingga kini, Andreas menyebutkan belum ada komunikasi khusus dari internal partai apalagi dari istana terkait calon Kepala BIN ini.
Menurut Andreas, bila Presiden menunjuknya menjadi Kepala BIN, hal pertama yang akan dilakukan adalah melakukan reformasi internal. Andreas mengakui selama ini kepercayaan masyarakat terhadap BIN terus menurun.
Padahal, menurut Andreas, BIN harusnya menjadi lembaga yang strategis negara besar seperti Indonesia.
"Kita perlu membangun BIN menjadi badan intelijen dengan kredibilitas yang tinggi."
BIN menurut Andreas juga perlu bertransformasi menjadi lembaga yang lebih luwes dalam menyikapi berbagai perubahan.
"Dengan tantangan yang berubah, posisi inteligen harus menyesuaikan diri dengan segala perkembangan," kata Andreas.
Langgar HAM
Andreas dicalonkan LSM yang bergerak di bidang HAM, Imparsial. Andreas bersama tiga calon lainnya yaitu pensiunan TNI Agus Widjojo, peneliti politik LIPI Ikrar Nusa Bhakti, dan politikus PDIP, Tubagus Hasanuddin dianggap lebih layak dibanding tiga nama calon kepala BIN yang kini digadang-gadang.
Tiga nama yang digadang itu adalah mantan Wakil Panglima TNI Jenderal purnawirawan Fachrul Razi, mantan Wakil Kepala BIN As'ad Said Ali, dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal purnawirawan Sjafrie Sjamsoeddin.
Direktur Setara Institute Hendardi mengatakan ketiga nama itu jelas diduga terlibat pelanggaran hak asasi manusia. Fachrul Razi, kata Hendardi, diduga terlibat kasus pelanggaran HAM era transisi pemerintahan Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie.
"Begitu pula dengan Sjafrie Sjamsoeddin," kata Hendardi.
Hendardi juga menuduh As'ad Said Ali terlibat pelanggaran hak asasi manusia atas kasus pembunuhan Munir Said Thalib pada tahun 2004. Sejumlah bukti menunjukkan Munir meninggal akibat aksi intelijen BIN. As'ad yang ketika itu menjabat Wakil Ketua BIN, diduga terlibat.