Bisnis.com, JAKARTA – Menyusul kebijakan People’s Bank of China (PBoC) yang memangkas rasio cadangan wajib bank (reserve requirement ratios/RRR), sejumlah analis dan ekonom memiliki pendapat berbeda mengenai efektivitas program kebijakan moneter longgar tersebut.
Ekonom Credit Suisse, Dong Tao mengungkapkan dengan ditetapkannya pemangkasan RRR sebesar 50 basis poin menjadi 19,5%, bank sentral China diharapkan dapat memaksimalkan program tersebut dengan menyalurkan likuiditas ke aktivitas perekonomian riil negara itu.
“Sudah menjadi tugas perbankan untuk menjadi perantara sumber keuangan dan aktivitas perekonomian, jangan sampai likuiditas terjebak di pasar keuangan. Likuiditas harus mengalir ke perekonomian riil,” ungkap Tao pada Bisnis melalui surat elektronik, Kamis (5/2/2014).
Tao menilai selama ini bank sentral tidak maksimal dalam mengarahkan likuiditas sehingga meski berulang kali menyuntikkan dana ke bank-bank, aktivitas perekonomian tetap tidak berlangsung sesuai ekspektasi.
Untuk diketahui, bank sentral memangkas RRR 50 bsp untuk mendorong bank-bank meningkatkan pinjaman pada usaha kecil menengah. Bank sentral bahkan berencana memangkas RRR 400 bsp pada bank-bank yang khusus memberi pinjaman pada sektor pertanian.
Di sisi lain, Presiden China Beige Book Lelland Miller pemangkasan RRR China dikhawatirkan akan memperparah credit bubble negara itu yang selama satu dekade terakhir telah menjadi kekhawatiran para pengambil kebijakan.
“Dampak pemangkasan RRR tidak akan signifikan dan tidak akan memicu pinjaman karena permintaan kredit masih lesu,” kata Miller, Kamis.