Kabar24.com, JAKARTA -- Rencana pemerintahan Jokowi untuk mengeluarkan dana talangan untuk membayar ganti rugi atau bail out Lumpur Lapindo memancing sejumlah komentar serta analis dampak yang bakal diterima pemerintah.
Meski kasus semburan lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah sewindu berlalu, nyatanya masih begitu banyak masyarakat di wilayah peta terdampak yang belum juga mendapatkan kepastian ganti rugi lahan.
Sampai pada akhirnya pemerintahan baru, Jokowi-JK, mengambil keputusan melakukan penalangan ganti rugi kepada warga terdampak lumpur Lapindo yang belum dapat dibayarkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya.
Pertanyaannya, pemerintah menalangi siapa? Perusahaan atau rakyat?
Sejumlah pengamat urun pendapat, sebagian menilai kebijakan itu "blunder" sebagian yang lain justru memuji Jokowi karena bisa menjadikan kasus Lapindo untuk "mengunci" gerakan politik Ical (Aburizal Bakria) di Golkar.
Di luar semua itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil dengan tegas menyatakan kebijakan itu semata demi masyarakat yang terdampak yang belum juga mendapatkan kepastian ganti rugi selama bertahun-tahun.
"Pemerintah bukan menalangi PT Lapindo tapi menalangi rakyat. Nanti swasta bayar ke pemerintah," katanya.
PT Minarak Lapindo Jaya, kata dia, diberikan waktu selama empat tahun untuk membayar seluruh talangan yang diberikan pemerintah.
Jika talangan tersebut tidak juga dibayarkan, pemerintah akan mengambil alih aset-aset berupa sertifikat dan tanah senilai Rp3,1 triliun.
"Penalangan ini tentu ada kewajiban yang mikro nanti mereka harus bayar. Kalau tidak bayar yang menjadi jaminan mereka akan diambil dan kita lelang," kata Sofyan.
Kebijakan Inkonstitusional
Suatu kebijakan memang wajar bila kemudian menuai pro dan kontra di lapangan. Tak terkecuali upaya pemerintah untuk menalangi dana ganti pembelian lahan warga atas kasus Lapindo.
Pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto berpendapat keputusan pemerintah untuk menalangi sisa ganti rugi pembelian lahan warga yang terdampak bencana lumpur Lapindo adalah tindakan yang inkonstitusional.
"Kebijakan Pemerintah untuk memberikan dana talangan atas kasus lumpur Lapindo sebesar Rp781 miliar adalah kebijakan yang inkonstitusional. Kebijakan ini bisa menjadi blunder bagi Pemerintah Jokowi-JK," kata Suroto.
Ia mengatakan jika perusahaan migas itu bangkrut dan tidak lagi memiliki kemampuan membayar semestinya tidak perlu mendapat dana talangan apapun.
Menurut dia praktik bailout atau dana talangan yang juga sering dilakukan pemerintah sebelumnya tidak memiliki payung hukum di Indonesia.
Menurut dia sebelum PT Minarak Lapindo Jaya di-bailout atau diberi dana talangan untuk membayar ganti rugi tanah yang terbenam lumpur akibat aktivitas penambangan, sebaiknya perusahaan dipailitkan terlebih dahulu.
"Kalau disebut sebagai uang ganti rugi untuk korban lumpur seharusnya PT Minarak Lapindo Jaya dipailitkan terlebih dahulu dan baru asetnya disita untuk menyelesaikan ganti rugi. Kalau kurang barulah diselesaikan langsung oleh pemerintah sebagai bantuan sosial," kata Suroto.
Ia mengatakan kebijakan itu bisa menjadi preseden yang akan mengacaukan sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia.
Menurut dia akibat kebijakan itu kini setiap orang yang melakukan spekulasi bisnis dan bangkrut pada akhirnya dapat menuntut dana talangan pada pemerintah.
"Seharusnya perusahaan justru dihukum akibat kelalaian dan merugikan banyak orang secara kemanusiaan. Ini janggal dan terkesan sangat kolutif," katanya.
Suroto meminta pemerintah untuk berperilaku adil pada semua pelaku bisnis dan tidak membawa "deal" politik ke dalam ranah hukum dan bisnis.
Tolak Bertahap Pemberian dana talangan sisa pembayaran ganti rugi korban Lapindo sebesar Rp781 miliar pada akhirnya memang akan dicairkan dan diperkirakan paling lama akan diberikan Oktober 2015.
Juru Bicara Pemprov Jawa Timur, Anom Surahno mengatakan pemerintah masih membutuhkan waktu untuk perubahan dalam APBN. Karena itu, ia meminta korban Lapindo untuk sedikit bersabar menanti pembayaran ganti rugi tersebut.
"Ini mungkin di APBN-P. Karena di APBN 2015 ini belum masuk. Kapan akan diberikan? Oktober 2015 sudah selesai, karena ini masuk perubahan tidak masuk di anggaran tetapnya," jelas Anom.
Sebelumnya, para korban Lumpur Lapindo mendesak kepastian tenggat waktu pembayaran ganti rugi yang dijanjikan pemerintah rampung tahun depan. Pendamping Korban Lumpur Lapindo, Paring Waluyo mengatakan tenggat waktu yang diberikan pemerintah akan jadi pegangan bagi warga.
Selain itu, warga juga menolak pembayaran secara diangsur. Mereka berkeras bahwa pembayaran secara langsung dan tunai merupakan harga mati.
Desakan tersebut muncul setelah Presiden Joko Widodo menyetujui akan menalangi sisa pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar Rp781 miliar.
Talangan ganti rugi tersebut akan diganti Lapindo dalam masa 4 tahun. Dan sebagai jaminannya adalah aset milik Lapindo yang bernilai sekitar Rp3 triliun.
Sementara itu Pusat Kajian Trisakti (Pusaka Trisakti) yang selama ini menjadi lembaga think-tank penyokong kabinet Jokowi-JK mengingatkan bahayanya langkah menalangi utang PT Minarak Lapindo bahkan bukan tidak mungkin langkah ini akan berujung menjadi Lapindogate.
Sekretaris Eksekutif Pusaka Trisakti, Fahmi Habsyi mengatakan kebijakan dana talangaan itu bisa berbahaya bagi Jokowi-JK yang di masa mendatang bisa saja menjadi Lapindogate.
"Kita sepakat dengan niat baik pemerintah bagi korban Lapindo. Jangan niat baik meninggalkan rasionalitas, dan akuntabilitas dana publik harus jadi prioritas," kata Sekretaris Eksekutif Pusaka Trisakti, Fahmi Habsyi.
Menteri PU sebagai eks Ketua Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (Timnas PSLS) era SBY, menurut Fahmi, harus memberi informasi dan penjelasan yang utuh pada Jokowi-JK tentang sejarah Lapindo dan kondisi keuangan grup Lapindo dan jaminan aset apa saja yang layak di-hold pemerintah yang bisa memastikan uang pemerintah Rp781 miliar bisa kembali.
"Apalah artinya nilai jaminan ribuan hektare tanah berlumpur yang akan disita pemerintah jika Lapindo tidak mampu bayar empat tahun lagi? Inikan anggap saja pemerintah 'jadi' kreditur, pilih jaminan induk Lapindo yang bagus saja seperti blok minyak Energi Mega Persada, atau jaminan saham yang tercatat di BEJ, gedung atau aset grup Bakrie di Jakarta atau Bali, piutang grup Lapindo, jika perlu personal gurantee, banyaklah pilihan kalau mau pakai akal sehat," katanya.
Pihaknya menyarankan Jokowi-JK meminta pendapat KPK dan BPK sebelum memutuskan menalangi dana Rp781 miliar ini.