Bisnis.com, JAKARTA – Kendati telah memproyeksikan pertumbuhan nol persen (zero growth) dan nilai tukar rubel terus merosot, Uni Eropa berkomitmen tidak akan menghentikan sanksi ekonomi pada Rusia jika negara itu tidak menyudahi aneksasinya di wilayah Ukraina.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam, dan ASEAN Olof Skoog menyampaikan bahwa pada dasarnya Rusia memahami dengan baik cara agar sanksi ekonomi yang dikenakan pada negara itu segera dihentikan.
“Rusia tau benar apa yang harus mereka lakukan. Sayangnya mereka tidak memenuhi permintaan Uni Eropa untuk segera menarik tentara-tentara mereka dari Ukraina,” kata Olof di Jakarta, Kamis (18/12/2014).
Seperti diketahui, Uni Eropa dan Amerika Serikat aktif menginisiasi sanksi ekonomi pada Rusia, merespons aneksasi tidak berkesudahan Negeri Beruang Merah di Ukraina. Beberapa sanksi tersebut menyasar langsung sektor-sektor krusial seperti energi, militer, dan perbankan.
Uni Eropa bahkan menyasar langsung beberapa perusahaan raksasa milik Rusia seperti produsen gas Gazprom, Transneft, dan Rostneft. Diterpa sanksi ekonomi bertubi-tubi, nilai tukar rubel terus merosot hingga 52% sepanjang tahun ini.
Central Bank of Russia (CBR) pun awal pekan lalu memutuskan untuk meningkatkan suku bunga hingga 17% dari sebelumnya 6,5%, menyusul perlemahan harga minyak dunia dan perlemahan rubel.
“Patut digarisbawahi bahwa sanksi ekonomi yang diberikan pada Rusia tidak hanya melukai perekonomian negara itu, namun juga melukai perekonomian negara-negara Uni Eropa karena banyak perusahaan kami yang melangsungkan aktivitas perdagangan dan bisnis dengan Rusia,” kata Olof.
Dalam sebuah konferensi pers khusus yang digelar di Moskow Kamis (18/12/2014), Putin menyampaikan AS dan Uni Eropa telah menggunakan isu aneksasi Ukraina untuk mengendalikan Rusia, seperti yang pernah dilakukan keduanya sejak akhir Perang Dingin.
“Kedua ‘rekan’ kita itu tidak akan berhenti, mereka bersikap seolah mereka adalah raja dan kita semua harus mengikutinya,” kata Putin.
Olof menyampaikan bahwa saat ini Uni Eropa menunggu komitmen Rusia untuk mengedepankan perdamaian di wilayah Eropa terutama Ukraina, mengingat berulang kali Rusia mengklaim mereka tidak terlibat membekali pemberontak dengan persenjataan.
“Uni Eropa menggelar banyak pertemuan dengan pihak Rusia dan hal-hal yang menjadi syarat diberhentikannya sanksi ekonomi tidak diimplementasikan secara mendasar. Kami harap Rusia segera mengubah kebijakannya,” tambahnya.
Merespons perelmahan rubel, Presiden Putin mengemukakan permintaannya pada bank sentral untuk tidak menghamburkan cadangan bank demi melindungi rubel.
“Karena situasi eksternal yang negatif, situasi seperti ini bisa saja berlangsung dalam dua tahun ke depan. Kalau situasi memburuk, kita harus mengubah beberapa agenda, misalnya memangkas sejumlah rencana belanja,” kata Putin.
Menurutnya, perlemahan rubel merupakan dampak yang datang dari faktor eksternal terutama perlemahan harga minyak dunia, sedangkan Rusia merupakan salah satu eksportir utama dunia. Memang, rubel jatuh signifikan 40% sejak Juni, saat harga minyak dunia merosot.