Bisnis.com, JAKARTA – Teater Koma telah lama dikenal sebagai teater modern yang paling maju di Indonesia. Berbeda dari grup teater lainnya yang biasanya menyelenggarakan pentas selama dua hingga tiga hari, grup yang berdiri sejak 1977 ini mampu menyelenggarakan pentas hingga satu bulan penuh di gedung pertunjukan di pusat kota. Keberhasilan ini adalah buah perjuangan dari reputasi yang dibangun selama puluhan tahun.
“Kalau bicara kesejahteraan, kami sama sekali tidak hidup dari teater. Banyak yang menyangka kami hidup dari sini, tapi sebenarnya Mas Nano pernah bekerja di media selama 28 tahun, saya sendiri pernah bekeja sebagai staf pemasaran di perusahan asing selama 10 tahun,” ujar Pimpinan Produksi Teater Koma Ratna Riantiarno kepada Bisnis.com, Selasa (02/12). Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dia baru fokus mengurus Teater Koma sejak pensiun dari pekerjaannya ketika memasuki usia 50 tahun, sekitar 12 tahun yang lalu. Begitu pula dengan Nano yang behenti dari pekerjaannya pada usia 55 tahun, sekitar 10 tahun yang lalu.
Dia mengatakan, hingga saat ini teater belum bisa dijadikan sandaran hidup. Para pekerja teater tetap harus mengandalkan kreatifitas dan keahliannya dalam mencari nafkah, entah itu dengan menjadi pemberi pelatihan, staf panggung di acara-acara, menjadi juri festival, mengajar, menjadi pemain film atau sinetron, atau lainnya.
Ratna mengatakan, sama seperti grup teater lain, dia dan pasangannya pun sempat mengalami harus “nombok” biaya produksi dari anggaran pribadi selama lima tahun pertama berdirinya Teater Koma .Hal itu sempat membuatnya merasa gelisah karena bagaimanapun mereka tetap mesti menafkahi tiga orang anaknya.
“Waktu itu saya bilang sama Mas Nano, kalau kita tidak dapat apa-apa (materi) dari teater boleh, tapi kalau sampai habis-habisan bahaya juga,” ujarnya. Akhirnya, kegelisahannya itu membuatnya turut memikirkan manajamen produksi yang baik, setelah sebelumnya dia fokus menjadi pemain.
Ratna pun memanfaatkan sebaik mungkin kemampuan pemasaran yang dia miliki, serta koneksi dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia sadar betul bahwa kesetiaan penonton adalah aset utama keberhasilan sebuah grup teater. Maka, dia rajin melakukan teknik yang disebutnya sebagai “jemput bola”, menawarkan tiket pertunjukan dari pintu ke pintu, termasuk di tempatnya bekerja.
Dia juga gigih menawarkan kerja sama kepada para calon sponsor. Semangatnya tak pudar meski berkali-kali mengalami penolakan. Selain itu, waktu masa awal pendiriannya, dia juga meminta para anggota Teater Koma untuk turut serta menjual setidaknya dua tiket. Kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan Teater Koma, sekaligus menjangkau penonton sebanyak-banyaknya.
“Kunci keberhasilan kami ada di kesetiaan penonton, dan itu harus kami bayar dengan menyelenggarakan pementasan yang rutin setiap tahun. Konsistensi itulah yang membuat para sponsor akhirnya melirik,” ujarnya.
Selain itu, dia juga menerapkan sistem subsidi silang. Ratna mengaku dalam setiap pertunjukannya, setidaknya dia juga menjual 20 hingga 50 tiket donator seharga minimal Rp500 ribu. Harga ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga tiket normal mereka seharga mulai Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Dana yang diperoleh dari penjualan tiket donatur ini digunakan sebagai subsidi untuk menyediakan tiket harga mahasiswa, atau tiket khusus bagi para seniman daerah yang datang khusus untuk menonton pertunjukan Teater Koma.
Meski enggan menjabarkan secara rinci biaya produksi, Ratna mengatakan setidaknya kini mereka tidak lagi harus mengeluarkan dana pribadi untuk menutupi kekurangan biaya produksi. Para anggota juga selalu mendapatkan konsumsi di setiap latihannya.
Adapun untung yang dihasilkan dalam setiap produksi pementasan, akan dibagikan sebagai honor pemain. Besarnya honor pemain pun berbeda-beda dan diungkapkan secara terbuka, tergantung lamanya masa bakti di Teater Koma, dan juga mempertimbangkan kesejahteraan masing-masing pemain
“Memang kalau dibandingkan negara lain di Jerman, pemerintah turut membiayai produksi pementasan sebesar 40 hingga 50%. Tapi buat saya orang teater tidak bisa hanya menunggu dan menuntut perhatian pemerintah. Kita juga mesti menunjukkan sesuatu, dan jangan berhenti mengedukasi masyarakat dengan teater kita,” tutup Ratna.