Bisnis.com, SENDANG BIRU -- Kemiskinan merupakan stigma yang melekat pada nelayan, termasuk nelayan di Pantai Sendang Biru, Kab. Malang.
Rerata penghasilan mereka sangat minim karena terjebak ijon dan jurakan pemilik kapal penangkap ikan.
Pada 2011, pendapatan nelayan yang menggunakan kapal siret mencapai Rp85 juta per nelayan per tahun, sedangkan nelayan kapal sekoci dan sepped sekitar Rp1,5 juta dan kapal konting lebih kecil lagi, yakni Rp800.000-Rp900.000.
Permasalahannya, dari 1.891 buah armada kapal yang ada di sana, sebagian besar justru kebanyakan kapal kecil jenis sekoci, speed, dan kapal konting.
Problem lain terkait dengan jeratan pengijon. KUD Mina Jaya yang mestinya dapat menyerap tangkapan ikan nelayan tidak mampu menyerap semua karena keterbatasan modal.
Hal itu terjadi karena KUD tersebut sulit mengakses ke bank karena masih ada tanggungan kredit usaha tani yang kini masih tersisa Rp800 juta.
Dampaknya, nelayan akhirnya menjual ikannya ke pengepul. Mereka layaknya rentenir karena selisih pembelian dengan KUD terpaut jauh, yakni sekitar 30%.
“Kondisinya memang seperti itu. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena seperti lingkaran setan,” kata Kepala Desa Sendang Biru, Kec. Sumbermanjing Wetan, Kab. Malang. Sudarsono.
Padahal dari sisi potensi, laut di sekitar Pantai Sendang Biru kaya dengan beragam ikan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor seperti tuna, cakalang, layur, dan cucut/hiu.
Jenis tangkapan ikan lainnya, seperti tongkol, layang, lemuru, kembung, ekor kuning, dan lainnya.
Berdasarkan luas Zona Ekonomi Eksklusif laut Selatan Jawa Timur mempunyai potensi lestari 403.444 ton/tahun.
“Karena itulah berupaya membantu masalah nelayan di Pantai Sendang Biru dengan mengurai simpul-simpul penyebab kemiskinan yang membelenggu mereka,” ujar Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Malang Rini Mustikaningsih di Malang, Kamis (16/10/2014).
Untuk mengetahui secara lebih lengkap dan menyeluruh permasalahan nelayan di Pantai Sendang Biru, maka dilakukan pemetaan masalah yang dikerjakan Kantor BI Pusat dan BI Perwakilan Malang.
Juga terlibat konsultan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Malang, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Merdeka Malang, serta Dinas Perikanan dan Keluatan Kab. Malang.
Dari hasil pemetaan, maka dirumuskan program-program kelembagaan kelompok nelayan Sendang Biru, yakni penguatan kelembagaan kelompok nelayan Dayung Abadi.
Pelatihan perencanaan usaha, training of trainers pengolahan hasil perikanan, pelatihan laporan keuangan dan akses kredit, dan kajian pola pembiayaan investasi hasil perikanan.
Selain itu ada juga kegiatan fisik berupa bantuan dari Bank Indonesia Social Responsibility (BSR) sebanyak 10 unit kapal mesin penangkap ikan, penghijauan di pantai seluas 8 hektare, serta bangunan pos pantau, serta gedung pelatihan kewirausahaan.
“Kegiatan tersebut dimulai sejak Oktober 2012 dan berakhir bulan ini dengan total anggaran Rp503,04 juta,” kata Analis Kantor Perwakilan BI Malang, Unggul Priatna.
Kegiatan tersebut benar-benar berdampak positif bagi pengembangan perekonomian nelayan, terutama yang menjadi sasaran program tersebut.
Sekali melaut, setiap kapal yang diawaki tiga nelayan berhasil menangkap ikan sebanyak 4 kuintal-5 kuintal dengan pendapatan setiap melaut atau per empat hari Rp200.000 per nelayan, jauh lebih tinggi bila dibandingkan menggunakan kapal kecil.
Dengan kesejahteraan yang meningkat, maka kapal penangkap ikan akan ditambah lagi yang didanai secara mandiri nelayan yang tergabung dalam Dayung Abadi.
Sehingga nantinya, 30 nelayan yang saat ini mengawaki 10 unit kapal penangkapan bantuan BI tersebut akan memiliki kapal sendiri dan terus bertambah bersamaan majunya usahanya penangkapan ikan.
Bertambahnya hasil tangkapan ikan juga diantisipasi dengan perlu adanya kegiatan pengolahan hasil ikan yang tidak terjual sehingga memberikan nilai tambah.
Dengan adanya gedung pelatihan, maka para istri nelayan dilatih mengolah ikan secara baik dan benar serta sehat.
Selain penyediaan infrastruktur, penyehatan lingkungan untuk menjaga habitat ikan di pantai tersebut juga diperlukan.
Karena itulah, di lahan pantai seluas 8 hektare telah ditanami tanaman bakau untuk menjaga keseimbangan lingkungan di sana.
“Yang menggembirakan, lahan penghijauan hutan bakau telah diperluas menjadi 15 hektare,” ujar Unggul.
Keberadaan hutan bakau tersebut ternyata membawa berkah bagi nelayan setempat. Hutan tersebut menjadi objek wisata yang disenangi wisatawan.
Setiap akhir pekan, ada sekitar 100-200 wisatawan yang mendatangi objek wisata tersebut, jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum ada hutan bakau yang hanya dikunjungi sekitar 50 orang setiap akhir pekan.
Ramainya pengunjung di hutan tersebut memberikan tambahan penghasilan nelayan dengan memanfaatkan kapal mereka mengangkut wisatawan melihat ikan-ikan di sekitar hutan bakau.
“Pendapatan dari sektor pariwasata sangat membantu kami karena setiap tahun, 4 bulan, yakni November-Maret, nelayan tidak melaut karena faktor cuaca,” kata Slamet, salah satu nelayan di sana.
Ke depan, kawasan di sekitar objek wisata akan dijadikan pusat kuliner dengan menu utama ikan hasil tangkapan nelayan.
Keberlangsungan pengembangan kesejahteraan nelayan, kata Unggul, harus berkelanjutan, caranya dengan merevitalisasi KUD Mina Jaya yang menjadi lokomotif pengembangan ekonomi nelayan di sana.
Pengurus KUD Mina Jaya berkomitmen untuk mengembangkan ekonomi masyarakat dengan bersedia mengangsur tunggakan kredit usaha tani (KUT) sehingga nilai tunggakannya tinggal Rp800 juta.
Menurut Unggul, Bank Jatim bersedia kembali mengucurkan kredit ke KUD Mina Jaya meski koperasi tersebut masih mempunyai tunggakan KUT karena koperasi tersebut mempunyai agunan yang likuid.
“Sudah ada komunikasi antara pengurus KUD dengan Bank Jatim,” kata Unggul.
Dengan berdayanya KUD Mina Jaya, maka diharapkan dapat memutuskan rantai keterikatan antara nelayan dengan pengijon karena koperasi mampu membayar semua hasil tangkap nelayan.
Model pengembangan ekonomi nelayan dengan konsep minapolitan tesebut, dia akui, masih bersifat rintisan sehingga diharapkan dapat menjadi model dalam menggarap perekonomian nelayan secara keseluruhan.
Dengan begitu, maka nelayan tidak lagi terjebak rentenir dalam membiayai melaut dan bisa menjadi dan sejahtera.