Bisnis.com, JAKARTA--Tak banyak yang tahu, Mahkamah Agung (MA) diam-diam sudah menerbitkan fatwa yang menyatakan bahwa Eddy Mulyadi Soepardi, calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang ‘digantung’ DPR beberapa waktu lalu, memenuhi syarat untuk dapat dipilih sebagai calon anggota BPK.
Dengan fatwa MA tersebut, Eddy otomatis menyusul empat calon anggota BPK lain yang sudah meraih boarding pass dari rapat paripurna DPR 23 September 2014 untuk berkantor di BPK. Keempat calon itu adalah Moermahadi Soerja Djanegara, Rizal Djalil, Harry Azhar Aziz, dan Achsanul Qosasi.
Sayang, sampai hari ini MA belum merilis fatwa tersebut ke warga. Kepala biro humasnya kukuh tak mau mengangkat telepon konfirmasi. Eddy sendiri juga masih malu-malu mengakui. Yang pasti, apabila tak ada aral melintang, pekan depan kelima calon anggota BPK tersebut diambil sumpahnya di Istana Negara.
Memang, terdengar selentingan, fatwa itu dibuat superkilat oleh MA. Hanya berselang sehari setelah surat dari pimpinan DPR masuk, fatwa MA untuk Eddy pun selesai dibuat. Kalau selentingan tersebut benar, kita perlu berbangga dengan MA. “Sekarang pesan, besok jadi,” mungkin cocok jadi moto fatwa MA.
Sempat juga terdengar selentingan, ada lobi khusus ke MA untuk memuluskan langkah Eddy ke BPK. Tapi mungkin baik kita tak berspekulasi. Bahwa masuknya Eddy ke BPK akan memperkuat posisi Rizal Djalil meraih kursi ketua BPK misalnya, itu mungkin benar. Tapi tentu lebih baik kita berbaik sangka.
Sebab, bukan itu persoalan yang sebenarnya. Pokok yang jauh lebih penting dari politik cekereme seperti itu adalah konsekuensi fatwa tersebut, baik dari sisi hukum maupun sebagai referensi pemilihan anggota BPK kelak. Sayang memang, fatwa itu belum diumumkan. Tapi kalaupun terus di-umpetin, tak berarti fatwa itu kita lupakan.
Dan sebelum terlalu jauh menguraikan, rasanya perlu segera ditambahkan, rapat paripurna DPR menunda pengesahan Eddy sebagai calon anggota BPK karena beda pendapat tentang terpenuhi tidaknya ketentuan Pasal 13 huruf (j) UU No.15/ 2006 tentang BPK, terkait dengan jabatan yang bersangkutan.
Pasal itu menyebutkan untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK, seorang calon anggota BPK harus memenuhi sejumlah persyaratan, yang antara lain paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.
Jabatan Eddy dalam 2 tahun terakhir adalah Deputi Kepala Bidang Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), komisaris PT Angkasa Pura 1 (Persero) dan komisaris PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero).
Sampai di sini, untuk menentukan apakah jabatan-jabatan Eddy tersebut masuk atau tidak masuk dalam pengertian pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara sebagaimana dimaksud Pasal 13 huruf (j) UU No.15/ 2006, suka tidak suka kita harus melihat ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
EMPAT UU
Dalam konteks ini, paling tidak ada empat UU lain yang saling terkait. Pertama, UU No.15/ 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal 1 angka (4) UU ini mengartikan Pejabat sebagai satu orang atau lebih yang diserahi tugas untuk mengelola keuangan negara.
Melengkapi pengertian tersebut, pengelola keuangan negara, sesuai dengan isi Pasal 1 angka (6) UU ini, didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Dengan Pasal 1 angka (4) dan angka (6) UU itu, maka definisi pengelola keuangan negara dengan sendirinya tidak bisa direduksi menjadi sekadar ‘pengguna anggaran’, ‘kuasa pengguna anggaran’, atau ‘pejabat pembuat komitmen’. Ada banyak yurisprudensi untuk praktik definisi ini.
Berdasarkan definisi tersebut, seorang deputi kepala bidang investigasi BPKP jelas berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban kegiatan pengelolaan keuangan di lingkungan deputi investigasi BPKP. Dengan kata lain, subjek pemeriksaan BPK.
Kedua, UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 2 huruf (g) UU ini memaknai kekayaan negara sebagai kekayaan negara/ daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) per 18 September yang menolak seluruh gugatan yang meminta BUMN tak dimasukkan sebagai bagian dari keuangan negara kian memperkuat pengertian itu. Dengan kata lain, pengurus BUMN dan BUMN masing-masing adalah subjek dan objek pemeriksaan BPK.
Keputusan MK yang memberikan kepastian hukum inilah yang sekaligus membedakan antara Case Eddy saat ini dengan case mantan komisaris PT Krakatau Steel (Persero) Taufiequrrahman Ruki ketika DPR, yang tak mempersoalkan masalah tersebut, melantiknya menjadi calon anggota BPK 2009-2014.
Ketiga, UU No.19/ 2003 tentang BUMN. Pasal 1 angka (1) UU ini menegaskan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
UU ini juga memberikan definisi yang clear soal komisaris. Pasal 1 ayat (7) menjelaskan, komisaris adalah organ persero yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan persero.
Memperjelas pengertian tersebut, pada bagian lain UU itu, Pasal 6 angka (1) menyebutkan pengawasan BUMN dilakukan oleh komisaris dan dewan pengawas. Dari sini bisa disimpulkan, pengurus BUMN, yaitu dewan komisaris dan dewan direksi, adalah subjek pemeriksaan BPK.
Keempat, UU No.40/ 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 114 ayat (3) UU ini menyebutkan setiap anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Penjelasan Pasal 114 ayat (3) menyebut apabila dewan komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugas sehingga mengakibatkan kerugian pada perseroan karena pengurusan yang dilakukan oleh direksi, anggota dewan komisaris tersebut ikut bertanggung jawab sebatas dengan kesalahan atau kelalaiannya.
Sampai di sini rasanya kita tahu bagaimana kedudukan dan konteks jabatan Eddy terkait maksud Pasal 13 huruf (j) UU No.15/ 2006. Lalu bagaimana dengan argumentasi MA dalam fatwa yang memuluskan Eddy ke BPK? “Sekarang terbit, entah kapan diumumkan,” mungkin bisa jadi opsi lain moto baru fatwa MA.
Seleksi Anggota BPK: Menyoal Fatwa MA untuk Eddy
Tak banyak yang tahu, Mahkamah Agung (MA) diam-diam sudah menerbitkan fatwa yang menyatakan bahwa Eddy Mulyadi Soepardi, calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang digantung DPR beberapa waktu lalu, memenuhi syarat untuk dapat dipilih sebagai calon anggota BPK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Bastanul Siregar
Editor : Rustam Agus
Konten Premium