Bisnis.com, BEIJING – Obligasi dalam mata uang negara-negara berkembang Asia menunjukkan performa stabil selama 2014, namun harus menjaga risiko volatilitas dari kenaikan suku bunga Amerika Serikat, keterpurukan pasar properti China, dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Hal tersebut tercantum pada laporan Asia Bond Monitor yang dipublikasikan Asian Development Bank pada Selasa (23/9/2014).
ADB menyampaikan, risiko negatif dari peristiwa-peristiwa tersebut meningkat jika negara-negara Asia tidak memiliki kebijakan lini depan untuk meminimalisasi dampaknya.
“Performa Asia cukup baik namun risiko mengintai. Naiknya suku bunga AS dan penguatan dolar akan menyulitkan para peminjam untuk membayar utang mereka,” ungkap Iwan J Azis, Kepala Divisi Regional of Economic Integration ADB, seperti dikutip Bisnis pada situs resmi ADB.
Laporan tersebut menyebutkan per akhir Juni lalu ada total sekitar US$7,9 triliun obligasi di negara-negara berkembang Asia, merujuk pada China, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Viet Nam.
Adapun selama kuartal II lalu, negara-negara Asia menerbitkan obligasi dalam mata uang sebesar US$1,1 triliun, naik dari US$852 miliar pada kuartal sebelumnya.
Sementara itu, penjualan obligasi dilakukan dengan denomenasi dolar AS, euro, maupun yen selama 7 bulan pertama menyentuh nilai US$121,4 miliar. ADB memprediksikan dalam beberapa waktu mendatang, penerbitan obligasi negara-negara berkembang Asia akan mencapai nilai rekor baru.
Adapun China sebagai pasar terbesar Asia telah menerbitkan US$4,9 triliun obligasi, dan Viet Nam merupakan egara dengan pertumbuhan obligasi mata uang terbesar baik dalam pehitungan tahunan maupun kuartalan.
Kedua negara tersebut mengerek laju pertumbuhan penerbitan obligasi sebesar 3,5% pada kuartal II dari kuartal sebelumnya, dan tumbuh 10,8% dari periode yang sama tahun sebelumnya.