Bisnis.com, JAKARTA-Inkonsistensi Undang-undang Kepailitan Indonesia menimbulkan risiko yang tinggi terhadap investor.
Senior Director Fitch Ratings Vicky Melbourne menjelaskan Indonesia telah membentuk Undang-undang kepailitan sejak lama. Meskipun Fitch mencatat ada beberapa perkembangan positif terkait hak-hak kreditur, proses penegakan yang kompleks terus menimbulkan risiko terhadap investor.
Indonesia memberlakukan UU Kepailitan pada 1998 yang kemudian direvisi pada 2004. Ada sejumlah kasus yang memperlihatkan pengadilan berperan aktif dalam kepailitan/suspensi dari proses pembayaran, tetapi aturan terus diterapkan secara tidak konsisten.
“Jika aturan lebih sulit diprediksi dan belum ada kepastian hukum, hukum kepailitan Indonesia akan terus menimbulkan risiko yang lebih tinggi terhadap investor fixed income,”demikian tertulis dalam laporan Fitch yang diterima Bisnis, Selasa (23/9/2014).
Beberapa faktor pertimbangan antara lain, sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum sipil yang tertulis berdasarkan UU.
Putusan pengadilan dan administrasi tidak bersifat formal dengan preseden yang mengikat, dan tidak diterbitkan secara sistematis.
Putusan pengadilan asing, termasuk pengadilan New York tidak diberlakukan di Indonesia. Selain itu, pengadilan Indonesia tidak menerapkan prinsip preseden, sehingga menciptakan kemungkinan inkonsistensi peradilan dan selanjutnya timbul ketidakpastian hukum.
Dalam laporan khusus terbaru "Apa yang harus investor ketahui- Rezim Kepailitan di Indonesia", Fitch menilai berbagai masalah hukum yang dihadapi investor, termasuk perbandingan Indonesia dan rezim kepailitan lainnya.
Tal hanya itu, laporan juga membahas keseimbangan kekuasaan antara debitur dan kreditur, hak-hak aman dan tidak aman dari kreditur, serta kunci utama yang mempengaruhi pemulihannya.