Bisnis.com, BEIJING – Lesunya belanja domestik China berdampak signifikan pada capaian inflasi negara tersebut. Harga indeks konsumen meningkat 2% pada Agustus dari periode yang sama tahun sebelumnya, melambat dari capaian 2,3% pada Juli dan berada di bawah konsensus ekonom yaitu kenaikan 2,2%.
Data perlambatan laju inflasi tersebut memperkuat spekulasi kebutuhan Negeri Panda atas pengucuran stimulus agar pemulihan ekonomi tidak kehilangan momentum. Pasalnya, sektor manufaktur yang menjadi nadi pertumbuhan ekonomi pun tengah lesu.
Ekonom ANZ Hong Kong, Hao Zhou menyampaikan tren perlambatan inflasi China dapat berisiko menjebak negara tersebut dalam deflasi, sehingga harus segera mempertimbangkan pengucuran stimulus.
“Yang lebih penting lagi, lemahnya kenaikan inflasi mengindikasikan tingkat suku bunga riil telah memberi tekanan pada korporasi di tengah pemulihan lambat. Korporasi tampaknya akan memangkas margin keuntungan mereka,” kata Zhou, Kamis (11/9).
Data juga menunjukkan indeks harga produsen (producer price index/PPI) jatuh 1,2%, terdorong oleh kondisi ekonomi lemah yang terus menekan laju kenaikan harga. Adapun pasar mengestimasi penurunan 1,1%, setelah PPI menyusut 0,9 pada bulan sebelumnya.
Sepanjang 2014, China menetapkan target inflasi sebesar 3,5%. Sejumlah analis menyatakan keraguannnya atas kemampuan pemerintah mencapai target tersebut meski bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar di pasar.
Di sisi lain, beberapa analis memprediksikan para pengambil kebijakan masih akanwait and see untuk memutuskan apakah akan mengucurkan stimulus. Pasalnya, meski ekonom merekomendasikan hal tersebut, pemerintah dan bank sentral belum menunjukkan intensinya.
“Dengan tingkat pengangguran yang rendah dan inflasi, PMI dan aktivitas perdagangan yang di bawah kontrol, sepertinya pemerintah belum akan mengucurkan stimulus pada 2014 ini,” kata ekonom PNC, Bill Adams.
Para pengambil kebijakan tampaknya memilih untuk menghindari kebijakan stimulus, setelah program yang sama yang diimplementasikan saat krisis keuangan global telah melambungkan tingkat harga dan utang Negeri Tembok Rakasa.
Pemerintah juga masih kecewa dengan kebijakan pelonggaran pada kredit justru mengalirkan kas pada perbankan bayangan negara tersebut, dan menjadi salah satu referensi pendanaan aktivitas ekonomi masyarakat.
“China tidak dapat bergantung pada stimulus dalam jumlah besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kita harus berorientasi pada reformasi untuk menggeliatkan pasar,” kata Perdana Menteri China, Li Keqiang. Ia meyakinkan China dapat tumbuh sesuai target yaitu 7,5% tahun ini.