BIsnis.com, SYDNEY—Euro terus tertekan pada Rabu (27/8) dan imbal hasil obligasi melorot ke level terendah di tengah spekulasi terkait stimulus tambahan di zona euro.
Meningkatnya prospek pengucuran stimulus bukannya tanpa sebab. Ekonomi kawasan bermata uang tungal itu terhenti pada kuartal II/2014 dan inflasi tak kunjung terangkat, sehingga memaksa Gubernur European Central Bank (ECB) untuk membuka kemungkinan adanya stimulus tambahan.
“Komentar yang dikemukakan Draghi itu langsung melambungkan ekspektasi pasar bahwa ECB bakal melonggarkan kembali kebijakan moneter dalam beberapa bulan mendatang, bahkan dimungkinan mereka [ECB] meluncurkan quantitative easing [QE],” ungkap Dragicevich, analis Commonwealth Bank of Australua di Sydney, Rabu (27/8/2014).
Dragicevich juga memproyeksikan inflasi zona euro pada Agustus tahun ini menunjukkan siklus yang sama, sehingga hanya bertengger di posisi 0,3%. Data inflasi akan dipublikasikan Jumat mendatang.
“Semua inI [ekonomi] mendukung pelemahan euro dan membuatnya [euro] berat,” tegasnya.
Mata uang tunggal itu meluncur turun ke level terendah selama 11 bulan menjadi US$1,315 di Asia, hampir menyentuh US$1,31. Depresiasi euro berkontribusi terhadap kenaikan nilai dolar ke puncaknya hingga 82,69.
“Persiapan ECB untuk melakukan QE cukup signifikan dan pembuat kebijakan juga mulai mencari cara bagaimana hal itu [QE] bisa diimplementasikan. Akibatnya, euro pasti terpukul lebih dalam,” ujar Greg Gibbs, analis Royal Bank of Scotland Group Plc.
Tidak hanya itu, tertekannya euro juga dipengaruhi prediksi terhadap data ekonomi yang bakal dipublikasikan pada Kamis (28/9).
Survei Bloomberg menyebutkan Komisi Eropa akan melaporkan bahwa sentimen konsumen melorot ke posisi terendah sejak Februari tahun ini.
Layaknya siklus yang terjadi di zona euro, inflasi Jerman juga diyakini tak berubah dari Juli lalu sehingga meningkatkan spekulasi pelonggaran moneter lebih lanjut.