Bisnis.com, TOKYO - Masyarakat muda Jepang dengan rentang usia di bawah 40 tahun ternyata enggan melakukan investasi untuk tabungan jangka panjang.
Hal tersebut ditunjukkan dengan data Financial Services Agency (FSA) yang menunjukkan tak lebih dari 9% masyarakat muda yang berinvestasi.
Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang selalu dikampanyekan Pemerintah Negeri Sakura selama bertahun-tahun. Pemerintah konsisten meyakinkan generasi muda bahwa investasi merupakan jaminan masa pensiun terbaik.
Survei tersebut dilakukan FSA karena ingin melihat efektivitas pengurangan pajak yang diterapkan 1 Januari lalu. Per awal tahun, Jepang menetapkan individu yang berinvestasi atau membeli saham di Nippon Individual Savings Account (NISA) akan dibebaskan dari pajak selama 5 tahun dengan tujuan mengenalkan investasi skala kecil pada generasi muda.
Namun jaminan 5 tahun inilah yang ditengarai menjadi kegagalan Pemerintah Jepang mendorong investasi. Pasalnya, aturan tersebut berarti NISA tidak mendorong budaya investasi jangka panjang, dan hanya investor yang masa pensiunnya sudah dekat yang akan tertarik, yang kemungkinan besar telah membeli saham sebelumnya.
“Masyarakat muda hanya memiliki sedikit cadangan uang untuk melakukan investasi,” kata pendiri Sawakami Fund, Atsuso Sawakami di Tokyo, Selasa (26/8). Ia menambahkan, selain dana cadangan, faktor lain yang menyebabkan rendahnya investasi kaum muda adalah ketidakpastian pasar.
Data FSA menunjukkan saat ini 1 dari 3 rumah tangga Jepang tidak memiliki akun investasi, sedangkan dua pertiga tabungan keluarga dimiliki oleh anggota yang berusia 60 tahun ke atas.
Melihat hasil yang tidak memuaskan, FSA menyampaikan mereka akan mencari cara lain untuk mendorong generasi muda berinvestasi. FSA menyatakan mereka merekomendasikan jumlah tahunan yang dapat diinvestasikan melalui NISA.
NISA memperbolehkan individu untuk membeli maksimal 5 juta yen saham dan investasi tanpa membayar pajak pada keuntungan dividen. Saat ini rumah tangga Jepang menyimpan lebih dari 800 triliun yen aset keuangan berbentuk tunai dan deposito bank.
Pemerintah yakin apabila semakin banyak masyarakat berinvestasi melalui saham dantrusts, maka aktivitas bisnis akan semakin produktif sehingga akan membantu Jepang mengejar pertumbuhannya.
“Dulu orang menggunakan instrumen saham untuk tabungan jangka panjang. Dengan pemulihan harga konsumen, masyarakat akan merasa tidak mampu jika mereka hanya bergantung pada saham dan uang tunai. Mendorong mereka membeli saham itu cerita lain,” kata peneliti NLI Research Institute di Tokyo, Koichi Haji.
Kini di saat biaya pelayanan kesehatan dan pensiun masyarakat Jepang membebani keuangan publik, Pemerintah Jepang ingin rumah tangga meningkatkan tabungan mereka melalui investasi daripada menempatkannya pada deposito bank dengan tingkat bunga 0,04%.
Fakta mengecewakan ini tidak membuat Pemerintah jepang menyerah, mereka terus mengampanyekan tabungan jangka panjang mengingat saat ini negara tersebut menghadapi beberapa masalah struktural seperti tingkat pengangguran dan lonjakan jumlah populasi tua.
“Masyarakat muda Jepang harusnya khawatir melihat persoalan struktural tersebut. Mereka memiliki waktu panjang untuk berinvestasi. Saya ingin mereka menabung sedikit demi sedikit,” kata Direktur Eksekutif Japan Securities Dealers Association, Masahiko Koyanagi.