Bisnis.com, TOKYO -- Bank of Japan (BOJ) tak menampik kemungikinan besar penambahan kebijakan pelonggaran moneter agresif, mengingat inflasi tak kunjung mencapai target 2%.
Gubernur bank sentral Jepang Haruhiko Kuroda mengatakan ia akan mengupayakan kebijakan menangkal deflasi dan menstimulasi ekonomi Jepang dengan penjualan aset dalam skala besar ternyata berdampak signifikan menekan deflasi.
Ia mengaku belanja domestik Jepang hingga saat ini tidak bisa diharapkan untuk mengejar target 2% inflasi. Ia berekspektasi korporasi dapat segera meningkatkan upah tenaga kerjanya untuk memulihkan pengeluaran.
"Kami berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan akomodatif hingga target inflasi 2% tercapi dan pertumbuhan stabil. Sepertinya masih butuh waktu untuk mencapai target tersebut," kata Kuroda dalam sambutannya di acara temu gubernur bank sentral dunia di London, Minggu (24/8/2014).
Pada April lalu BOJ telah menunjukkan niatnya menekan laju deflasi melalui stimulus moneter. BOJ melipatgandakan jumlah money base melalui program pelonggaran kuantitatif berupa penjualan aset.
Adapun target 2%, menurut Kuroda, harus tercapai dalam sekitar 2 tahun. Seperti diketahui, ekonomi Negeri Sakura telah didera deflasi dalam 15 tahun terakhir.
Program penjualan aset tersebut terbilang berhasil setelah indeks harga konsumen naik 1,3%, juga tertopang oleh kenaikan pajak penjualan pada April lalu.
Namun Kuroda tidak berekspektasi berlebihan, ia memprediksikan inflais akan kembali melambat dalam beberapa bulan mendatang karena pelemahan yen juga berdampak negatif pada biaya impor.
"Ekpektasi pada inflasi meningkat namun masih akan stagnan rendah di sekitar level 1%. Tingkat suku bunga rendah akan tetap dipertahankan hingga target inflasi tercapai," ujarnya. Ia menambahkan, jika inflasi mendekati target tersebut, maka negosiasi kenaikan upah akan lebih mudah.
Saat ini Jepang tidak lagi mengeluhkan tingkat pengangguran yang telah turun signifikan. Meski demikian Kuroda mengaku negaranya masih harus berhadapan dengan tantangan berupa tingginya jumlah pekerja paruh waktu yang tinggi di sektor jasa.