Bisnis.com, TOKYO -- Risiko besar pada perekonomian diprediksikan akan menerpa Jepang jika negara tersebut gagal menaikkan pajak penjualan yang dijawalkan pada Oktober 2015 mendatang.
Untuk naik menjadi 10% dari 8% saat ini, Pemerintah Jepang harus memastikan pemulihan ekonomi pada tahun ini.
Bekas Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda menyampaikan keraguannya pada PM Jepang saat ini Shinzo Abe, mengenai apakah kebijakan moneter longgar, belanja, dan reformasi Abe dapat menggerakkan pertumbuhan berkelanjutan.
"Risikonya bisa amat besar. Terlihat bahwa saat ini Jepang tidak menerapkan disiplin fiskal. Bagaimana pun caranya, saya ingin pemerintah memulihkan pertumbuhan," kata Noda di Tokyo, Jumat (22/8/2014).
Noda adalah pengambil kebijakan yang merencanakan kenaikan pajak penjualan sebelum ia menyerahkan jabatannya pada Abe akhir 2012 lalu.
Ia dan partainya mengajukan kenaikan pajak penjualan secara bertahap sebesar 10% pada parlemen untuk pembiayaan sosial dan mengatasi lambungan utang publik Jepang.
Setelah menjabat, Abe menaikkan pajak penjualan dengan tujuan yang sama, dari sebelumnya 5% menjadi 8%.
Keputusan ini menyebabkan ekonomi Jepang terkontraksi 6,8%, kontraksi pertama sejak gempa bumi 2011 lalu.
Para pengambil kebijakan terus meyakini dampak kenaikan pajak penjualan akan berlangsunh sementara.
Kini mereka waswas, melihat belanja rumah tangga dan korporasi yang beku tak kunjung pulih.
Akhir tahun ini, Abe harus memastikan apakah ia akan menaikkan pajak penjualan menjadi 10% pada tahun depan.
Jajarannya mengaku sulit untuk memutuskan hal tersebut, karena berpotensi menghambat pemulihan dan menimbulkan kekhawatiran pada pasar keuangan mengenai utang publik Negeri Sakura.
"Apakah dampak jangka panjang dari kebijakan moneter longgar dan belanja fiskal yang di sebut Abe dengan kebijakan tahap ketiga?" kata Noda.
Noda juga membahas kebijakan pemangkasan pajak korporasi yang saat ini di atas 35% menjadi 30% dalam beberapa tahun mendatang.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak berdampak signifikan pada perekonomian jika tidak diimplementasikan pada seluruh korporasi.
"Secara keseluruhan, saya pikir itu dampaknya tidak besar," ujarnya.
Di aisi lain, meski kondisi ekspor dan manufaktur membaik, kini korporasi Jepang mengeluhkan kurangnya tenaga kerja berkualitas yang dinilai akan berdampak buruk pada keuntungan perusahaan tahun ini.
Seperti diketahui, negara tersebut kini menghadapi persoalan jumlah populasi tua yang tinggi.
Dari survei Reuters pada sejumlah perusahaan dengan tingkat penghasilan lebih dari 1 miliar yen, 44% perusahaan mengaku khawatir pada profit yang dipredikaikan akan jatuh 1%-10% tahun ini.