Bisnis.com, FRANKFURT—European Central Bank (ECB) semakin limbung akibat diterpa beruntun mulai dari stagnannya ekonomi zona euro hingga inflasi yang lemah, di tengah keraguannya untuk meluncurkan stimulus moneter tambahan.
Hal tersebut tidak terlepas dari komitmen bank sentral Eropa itu untuk menunggu kefektifan paket stimulus yang diumumkan Juni lalu.
Program tersebut termasuk pemangkasan suku bunga acuan hingga 0,15%, dan pengucuran pinjaman jangka panjang yang akan dimulai September mendatang.
Selain paket tersebut, hanya tersisa quantitative easing (QE) yang bakal memompa dana segar ke seluruh kawasan euro guna menggenjot ekonomi sekaligus menangkal ancaman deflasi.
Tetapi, implementasi QE masih menuai pro dan kontra baik dari kalangan ekonom maupun ECB sendiri.
Inflasi melambat menjadi 0,4% pada Juli tahun ini dan bank sentral tersebut mengkategorikan tingkat inflasi di bawah 1% sebagai ‘zona bahaya’.
Padahal, pemulihan ekonomi kawasan bermata uang tunggal ini masih menghadapi sejumlah ancaman antara lain meningkatnya ketegangan krisis geopolitik antara Ukraina dan Rusia.
“Apa yang terjadi akibat krisis geopolitik berisiko memacu stimulus lebih lanjut, meski potensi QE masih 50:50 saat ini,” kata Andrew Bosomworth, Manager Portofolio Pimco di Frankfurt, Selasa (19/8).
Ekonomi zona euro bahkan terhenti, sebelum sanksi diberlakukan oleh Rusia. Pemulihan ekonomi zona euro mendadak terhenti pada kuartal II/2014, mengikuti keterpurukan yang diderita 3 negara dengan ekonomi terbesar di blok bermata uang tunggal itu yaitu Jerman, Prancis, dan Italia.
Memburuknya outlook zona euro juga menyeret turun ekspektasi ekonom terhadap zona euro. Survei Bloomberg menyebutkan lebih dari seperempat responden meyakini kondisi area euro terus melemah selama 4 pekan mendatang.