Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Dalam Negeri mendesak seluruh paket undang-undang otonomi daerah rampung tahun ini agar pemerintahan baru tidak terbebani persoalan-persoalan yang timbuk akibat kebijakan otonomi daerah selama ini.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan RUU mengenai otonomi daerah, yaitu RUU Pemerintah Daerah dan RUU Pilkada harus dirampungkan tahun ini. Apabila tidak, hal ini menjadi langkah mundur bagi kemajuan Indonesia.
“RUU ini tidak bisa di carry over. Artinya, kembali dari nol. Pemerintah baru nantinya harus mengajukan RUU yang baru kepada DPR yang baru. Tentu ini akan memakan waktu, setidaknya dua tahun,” jelasnya, Jumat (15/08).
Djohermansyah menuturkan pemerintah daerah selama ini belum sejalan dengan pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan kewenangan pemerintah daerah dalam kebijakan otonomi daerah saat ini terlalu besar. Alhasil, koordinasi dan pengawasan pusat ke daerah tidak optimal.
Akibat kewenangan pemerintah daerah yang terlalu besar tersebut, lanjutnya, penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan pun kian bermunculan di daerah otonom. Pada akhirnya, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan tidak tercapai.
“Saya pikir pemerintahan baru jangan dibebani persoalan otonomi daerah. Kecuali kita masih mau menikmati lagi berbagai macam kondisi ketidakefektifan koordinasi antara pusat dan daerah yang tidak efektif. Termasuk juga gonjang ganjing pilkada,” tuturnya.
Dia menilai kebijakan otonomi daerah saat ini perlu disempurnakan. Kemendagri mencatat sebanyak 78% dari 57 daerah otonomi yang melakukan pemekaran selama tiga tahun terakhir ini ternyata gagal berkembang.
Koordinasi dan pengawasan yang kurang dari pemerintah pusat ke pemda juga mendorong terjadinya pelanggaran hukum. Kemendagri mencatat sebanyak 1.221 pegawai negeri sipil (PNS) terjerat kasus hukum sejak 2005 hingga Agustus 2014.
Selain itu, Kemendagri juga mencatat sebanyak 3.169 anggota DPRD terlibat dugaan kasus korupsi. Djohermansyah mengungkapkan sistem pelaksanaan pemilu yang dianggap liberal menjadi latar belakang para anggota dewan tersebut melakukan tindakan korupsi.
Meskipun demikian, dia menilai kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi ini merupakan jalan terbaik guna menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Setidaknya ada tiga alasan, a.l. wilayah yang luas, besarnya jumlah penduduk dan keberagaman kultur dan budaya.
Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai pemahaman pemerintah pusat dan daerah mengenai desentralisasi belum sejalan. Menurutnya, kebijakan desentralisasi bukan sekadar berbicara otoritas, kewenangan maupun kekuasaan.
“Semangat desentralisasi itu sudah ada, tetapi implementasi dan kualitasnya perlu diperbaiki. Saya pikir, baik pemerintah pusat dan daerah harus benar-benar paham dulu tujuan dari kebijakan desentralisasi itu,” tuturnya.
Siti menilai kebijakan otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerimtah Daerah belum sempurna, bahkan seakan-akan tergesa-gesa. Kendati demikian, dia meyakini keputusan desentralisasi ini merupakan hal strategis dalam memajukan Indonesia.
Seperti diketahui, paket UU Otonomi daerah, yakni UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 merupakan tiang penyangga utama rezim otonomi daerah yang mengubah rezim sentralistik bentukan UU No. 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.
Pemerintah kemudian memecah UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi tiga undang-undang, yaitu UU Desa, UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah. Dari ketiga UU tersebut, UU Desa sudah lebih dulu disahkan pada akhir tahun lalu.