Bisnis.com, TOKYO – Harga konsumen Jepang menanjak pada laju tercepatnya dalam 32 tahun terakhir, terdorong oleh tingginya biaya utilitas dan kenaikan pajak penjualan.
Kedua hal ini berkontribusi besar pada penurunan drastis tingkat belanja rumah tangga yang anjlok ke level terendah sejak gempa bumi 2011.
Data yang dirilis Biro Statistik Jepang pada Jumat (27/6/2014) menunjukkan harga konsumen pada Mei meningkat 3,7% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Nilai ini sesuai dengan proyeksi rata-rata ekonom yang disurvei Bloomberg News.
Sementara itu, belanja rumah tangga jatuh 8%, lebih dari perkiraan.
Awal pekan kemarin, Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda menyampaikan, dalam beberapa bulan ke depan, kenaikan harga akan melambat.
Namun Kuroda memastikan kenaikan harga akan kembali terjadi, demi menjaga target inflasi 2% bank sentral.
Kenaikan harga dan target inflasi juga menambah panjang tugas Perdana Menteri Shinzo Abe.
Ia harus meyakinkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk meningkatkan upah pekerja, agar daya beli tak tergerus.
Direktur lembaga penelitian ekonomi, NLI Research Institute, Taro Saito mengatakan saat ini rumah tangga Jepang belum merasa puas dengan program Abenomics.
“Belanja konsumen yang jatuh di luar perkiraan mengindikasikan rumah tangga mulai menyesuaikan diri dengan inflasi yang menyusul kenaikan pajak penjualan,” kata Saito di Tokyo.
Sebelumnya, BOJ telah mengestimasikan pajak penjualan akan menyumbang 2% pada tingkat inflasi Mei.
Menurut Gubernur Kuroda, laju akan melambat 1% pada musim panas mendatang, sebelum kembali terakselerasi mencapai inflasi 2%.
Karena itu, menurut ekonom Societe Generale SA, Takuji Aida, BOJ tidak akan menambah stimulusnya hingga tahun depan karena bank sentral memang mengharapkan penurunan harga.
Dalam sebuah interview, PM Shinzo Abe mengklaim keberhasilan program-programnya dalam menahan laju deflasi yang membelit Jepang selama 15 tahun.
“Pertumbuhan ekonomi tak lagi dihantui inflasi, berkat kebijakan moneter, dan kebijakan fiskal yang fleksibel,” kata Abe.