Bisnis.com, JAKARTA--Maraknya perkebunan sawit di Indonesia dinilai akan memperluas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seiring dengan tingginya ketimpangan antara buruh dan pengusaha sawit.
Deputi Direktur Sawit Watch Ahmad Surambo mengatakan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki perkebunan sawit terbesar di dunia.
Besaran lahan sawit di Indonesia lebih dari 13, 5 juta hektar dan mampu memasok hampir 43% crude palm oil (CPO) untuk keperluan dunia.
"Sayangnya, Pemerintah hanya memberikan jatah 20% untuk lahan masyarakat yang wajib diberikan oleh korporasi. Ini tidak sebanding," katanya dalam sebuah diskusi di kawasan Cikin, Jakarta, Jumat (30/5/2014).
Dia menilai, aturan Permentan No 26/2009 tentang kewajiban perusahaan dalam plasma paling rendah 20% lahan perkebunan untuk rakyat sangat menyengsarakan rakyat yang berada di kawasan perkebunan milik korporasi tersebut.
Ahmad Surambo menganggap peraturan tersebut lebih buruk dibandingkan aturan yang dikeluarkan pada era Presiden Suharto.
Menurutnya, aturan era Soeharto masih bisa memberikan harapan untuk rakyat, di mana saat itu pihak korporasi wajib membagi lahan untuk masyarakat sekitar 40%.
"Kalau kita bandingkan dengan zaman Soeharto, kita bisa merasakan kebijakan lebih progresif, pengusaha 60% dan masyarakat 40%," paparnya.
.
Hasil riset Sawit Watch pada 2013 menunjukan besaran upah maksimal diterima buruh tetap setiap bulannya mencapai Rp1,2 juta-Rp1,4 juta. Hal tersebut tidak sebanding dengan pengeluaran buruh Rp1,2 juta-Rp1,5 juta per bulan. Sehingga, tak sedikit para buruh memporsir waktu kerja menjadi lebih lama untuk menutupi kekurangan pendapatan setiap bulannya.
Untuk itu, jika perkebunan sawit tersebut terus semakin menggurita, akibatnya pelanggaran HAM akan semakin tinggi seiring banyaknya ketimpangan hak antara masyarakat pekerja dengan para pengusaha sawit.