Bisnis.com, WASHINGTON – Profesional keuangan dunia optimis akan masa depan ekonomi global, berkebaikan dengan prediksi mereka pada awal tahun lalu.
Fakta ini diperoleh dari survei Bloomberg bertajuk Bloomberg Markets Global Investor Poll yang mengangkat persoalan risiko kerusuhan Ukraina sebagai ancaman deflasi di Eropa.
Survei menunjukkan 40% dari responden mengakui bahwa ekonomi global mengalami perkembangan positif, sedangkan 43% mengatakan ekonomi dunia stabil.
“Saya tidak akan mengatakan investor saat ini berada dalam ketakuta, namun memang skeptis melihat kondisi,” kata investor yang menanamkan $66 miliar asetnya di BMO Privat Bank, di Chicago.
Survei yang dilakukan Bloomberg ini melibatkan para profesional perdagangan, bankir, dan manajer keuangan.
Para responden pun menunjukkan sikap optimis atas kondisi Amerika Serikat yang saat ini dinilai tengah memulih, di tengah kemungkinan kenaikan pajak sebagai implikasi pertumbuhan positif.
Responden mengikuti dengan baik kondisi perekonomian dunia, misanya ketika mereka memutuskan mundur dari negara-negara BRIC yang pasar sahamnya menurun pada 2011 lalu.
Saat ini, AS tampaknya menjadi incaran menarik. Negeri Paman Sam dinilai dapat mengelola perekonomiannya dengan baik.
Hal ini sesuai pula dengan prediksi International Monetary Fund (IMF) yang pada laporan World Economic Outlook yang dipublikasikan pada April lalu menyampaikan bahwa perekonomian AS akan terakselerasi menjadi 2,8% tahun ini dan akan menjadi 3% pada 2015. Pada 2013 lalu, AS tumbuh 1,9%.
Pada pertanyaan mengenai pasar yang menawarkan kesempatan investasi terbaik dalam 12 bulan ke depan, AS menempati urutan tertinggi. Zona Euro menempati urutan kedua, sebagai dampak belum memulih totalnya ekonomi Zona Euro dari ancaman krisis utang.
Selain AS, pasar Inggris pun menarik perhatian, terkait belanja konsumen dan lonjakan pasar perumahan. Menurut IMF, Inggris memang tumbuh lebih cepat dari negara-negara G7 lain.
“Ekonomi Inggris menunjukkan penguatan. Sulit untuk mendapatkan indikator ekonomi yang tengah lemah,” kata ekonom Pricewaterhouse Coopers LLP yang juga bekas dewan BOE.