Bisnis.com, JAKARTA—Sekitar 2 tahun setelah Myanmar membatalkan sensor dalam salah satu reformasi yang dinilai paling berani, para wartawannya kembali dihantui ketakutan akan ancaman penjara.
Mereka meyakini tindakan keras yang didukung oleh negara merupakan upaya untuk membatasi kebebasan pers.
Delapan anggota media telah ditngkap sejak Desember lalu dan dua di antaranya dipenjara dalam apa yang dikatakan berbagai kritik sebagai kemunduran pemerintah dalam reformasi.
“Para garis keras dalam pemerintahan berpikir (kebebasan media) kini telah pergi terlalu jauh,”ujar pemimpin redaksi koran berbahasa Inggris Myanmar Freedom Thiha Saw.
Toe Zaw Latt, kepala biro Democratic Voice of Burma (DVB), menjadi salah satu orang yang mengalami penindasan tersebut. Salah satu wartawan videonya dipenjara bulan lalu dan mendapat perlakuan keras.
Sementara itu, wartawan magang Australia harus dideportasi karena mengambil bagian dalam protes menyerukan pembebasan rekannya.
“Ini adalah upaya yang disengaja dan konsolidasi dengan pemerintah untuk membatasi media, “ kata Toe Zaw Latt.
Para wartawan mengatakan laporan isu-isu yang dinilai sensitif seperti korupsi, perampasan tanah, serta ketegangan agama dan etnis mungkin telah memicu beberapa reaksi.
Baru-baru ini London, berdasarkan Amnesti Internasional, memberikan pernyataan bahwa penangkapan-penangkapan tersebut membangkitkan kenangan masa lalu di mana penahanan anggota media menjadi salah satu ciri pemerintahan militer sebelumnya.