Bisnis.com, BANDUNG – Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyatakan Jabar terancam kehilangan lebih 250.000 hektare lahan pertanian dari total luas lahan pertanian saat ini seluas 943.016 hektare.
Kepala Seksi Pengelolaan Lahan dan Air Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Diperta) Jawa Barat Ajat Sudrajat menyatakan perhitungan ini berdasarkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota dan Kabupaten yang di dalamnya menetapkan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan atau lahan pertanian abadi yang secara konsisten diperuntukkan sebagai lahan pertanian.
“Pemkot dan pemkab telah mensahkan Perda RTRW masing-masing wilayahnya yang di dalamnya menetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan. Jika ditotal seluruh wilayah Jabar, lahan pertanian berkelanjutan hanya 676.594 hektare dari luas lahan saat ini 943.016 hektare. Artinya luas lahan pertanian yang akan hilang sebesar 266.422 hektare,” katanya kepada Bisnis, Senin (21/4/2014).
Ajat menuturkan ada tiga wilayah yang menetapkan menghilangkan seluruh lahan pertaniannya dalam Perda RTRW, di antaranya Kota Bandung yang dituangkan dalam Perda Nomor 18 Tahun 2011, Kota Cirebon yang dituangkan dalam Perda Nomor 8 Tahun 2011, dan Kota Bekasi yang dituangkan dalam Perda Nomor 13 Tahun 2011.
Ajat merinci Kota Bandung bakal kehilangan 1.354 hektare lahan pertaniannya, Kota Cirebon bakal kehilangan 273 hektare lahan pertanian, sedangkan lahan pertanian Kota Bekasi akan hilang 469 hektare.
Tak hanya tiga wilayah tersebut, ada tiga wilayah lain yang terancam juga kehilangan seluruh lahan pertaniannya, yakni Kota Depok, Kota Banjar, dan Kota Cimahi. Pemerintah tiga kota ini berencana menetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan seluas 0 hektare. Namun, menurut Ajat, luas lahan pertanian berkelanjutan di tiga wilayah ini belum disahkan karena Perda RTRW wilayah bersangkutan masih dalam proses pembuatan.
Sementara itu, kawasan Jabar Utara yang menjadi lumbung padi Jabar akan kehilangan 20% hingga 30% lahan pertaniannya. Kabupaten Indramayu akan kehilangan 24.304 hektare sawah karena Pemkab Indramayu menetapkan luas lahan berkelanjutan dalam Perda RTRW Nomer 1 Tahun 2012 hanya 92.370 hektare dari 116.675 hektare luas lahan pertanian saat ini.
Adapun Pemkab Subang berencana menetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan hanya 78.348 hektare dari luas lahan saat ini 85.635 hektare atau hilang 7.287 hektare sawah. Adapun Pemkab Karawang berencana menetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan di wilayahnya hanya 93.000 hektare atau berkurang 5.388 hektare dari luas sawah saat ini 98.388 hektare.
“Namun, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang belum mensahkan luas lahan pertanian berkelanjutan itu dalam Perda RTRW wilayahnya karena masih menunggu kepastian pembangunan sejumlah proyek, seperti bandara dan pelabuhan di Karawang. Pemkab Subang dan Karawang baru sebatas menyodorkan rencana luas lahan pertanian berkelanjutan di wilayahnya kepada pemprov,” ujarnya.
Ajat menambahkan ancaman kehilangan luas lahan pertanian dalam persentase lebih besar terjadi di Jabar Selatan. Dia merinci Kota Tasikmalaya terancam kehilangan 91% lahan pertaniannya setelah Pemkota Tasikmalaya menetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan dalam Perda RTRW Nomor 4 Tahun 2012 hanya 492 hektare. Padahal, luas lahan pertanian di Tasikmalaya saat ini mencapai 6.067 hektare.
Selain Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi juga terancam kehilangan lahan pertanian cukup besar dengan persentase 81% atau 1.430 hektare. Menurut Ajat, Pemkot Sukabumi menetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan hanya sebesar 321 hektare, dari luas lahan pertanian saat ini 1.752 hektare.
Ajat mengatakan dengan bakal berkurangnya lahan pertanian di Jabar hampir 40%, maka produksi padi pun terancam anjlok. Dengan luas lahan 943.016 hektare, produksi gabah kering bisa mencapai 12 juta ton. Menurut Ajat, jumlah produksi ini akan merosot 40% seiring dengan hilangnya luas lahan pertanian.
Namun demikian, kata Ajat, Pemprov Jabar melakukan berbagai upaya menggenjot produksi padi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, salah satunya dengan melaksanakan program cetak sawah. Hingga 2018, Pemprov Jabar menargetkan pihaknya dapat mencetak 100.000 hektare sawah yang dapat menghasilkan 800.000 hingga 1 juta ton gabah kering.
Menurut Ajat, program cetak sawah dilakukan di lahan tidur milik petani. Sebagai insentif, satu kelompok petani menerima Rp10 juta untuk proses pembukaan sawah.
“Kami meminta petani untuk berkomitmen menjadikan sawah hasil cetak sawah sebagai sawah abadi yang tidak boleh diperuntukkan untuk kepentingan lain. Namun, memang kami tidak bisa memaksakan hal tersebut,” katanya.
Selain itu, Pemprov Jabar juga akan melakukan optimalisasi produksi pertanian pada lahan yang masih tersedia dengan cara memberikan bantuan sarana produksi kepada petani, seperti bantuan teknologi hingga penyuluhan pertanian.
“Namun, bantuan ini tentu tidak bisa menutupi kekurangan produksi akibat sawah yang nantinya terancam hilang karena dana optimalisasi dari APBN ini kecil sekali jumlahnya,” ucapnya.
Dengan dana bantuan optimalisasi yang kecil, Ajat mengatakan pihaknya memahami jika petani lebih memilih menjual lahan pertaniannya untuk kepentingan lain. Menurutnya, Pemprov Jabar tidak bisa menahan petani untuk tidak menjual lahan pertaniannya.
Dengan demikian, Ajat meminta komitmen pemkot dan pemkab untuk memerketat pengeluaran ijin pembangunan di lahan pertanian. Menurutnya, untuk memertahankan lahan pertanian dibutuhkan komitmen bersama antara pemprov, pemkot dan pemkab, serta pata petani.
Sementara itu, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Entang Sastraatmadja menuturkan kurangnya bantuan optimalisasi produksi pertanian dari pemerintah menjadi pemicu para petani menjual lahan pertaniannya. Menurut Entang, bantuan berupa penyuluhan hingga bantuan teknologi masih minim didapatkan petani. Untuk memertahankan lahan pertanian yang ada, Entang meminta pemerintah untuk meningkatkan bantuan optimalisasi produksi agar para petani tidak tergiur menjual lahannya untuk kepentingan lain.