Bisnis.com, MALANG - Pelaku industri pariwisata di Jawa Timur (Jatim) secara tegas menyatakan penolakan terhadap kenaikan tarif ke Gunung Bromo yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.12/2014 yang bakal diberlakukan pada Mei mendatang.
PP tersebut mengatur tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Penolakan tersebut dilakukan pelaku industri pariwisata dalam Stakeholders Meeting Sosialisasi PP No.12/2014 yang dihadiri Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi Bromo Tengger Semeru (BTS) Kementerian Kehutanan di Kota Malang, Selasa (15/4/2013).
Perhimpunan Hotel dan Retoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur melalui wakilnya Uddy Syaifudin mengatakan PHRI siap melakukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan yudisial review atas PP yang dinilai akan mematikan industri pariwisata di Jatim tersebut.
“Kita sudah membentuk tim advokasi guna melayangkan gugatan. Langkah gugatan ini merupakan solusi menyusul telah buntunya proses tuntutan yang telah dilayangkan oleh insan pariwisata di Jatim karena PP tetap akan diberlakukan,” kata Uddy Syaifudin usai sosialisasi, Selasa (15/4/2014).
Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Provinsi Jatim, Dwi Cahyono, mengatakan Bromo merupakan pitu masuk wisata di Jatim. Kalau pintu masuknya bakal terganggu akibat PP tersebut maka secara otomatis akan berdampak pada industri pariwisata di Jatim lainnya.
“Tujuan utama pariwisata di Jatim adalah Bromo, baru ke tempat lainnya. Kalau tarif naik dan wisatawan urung berwisata ke Bromo maka dampaknya akan berimbas pada dunia pariwisata di Jatim secara umum,” jelas dia.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Tour&Travel Indonesia (DPD Asita) Jatim, Nanik Sutaningtyas, mengatakan Asita Jatim secara tegas menolak PP No.12 tersebut. Karena dampak dari PP tersebut akan membuat pengusaha tour dan travel akan menanggung rugi.
“Karena kita menjalankan kontrak tahunan. Kalau PP diberlakukan pada Mei mendatang, kita bakal merugi karena terpaksa harus nomboki karena sebagian besar klien sudah memberikan down payment (DP),” ujarnya.
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi Bromo Tengger Semeru (BTS) Kementerian Kehutanan, Bambang Suprianto, mengatakan PP tersebut sudah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selain itu proses pembahasan PP sendiri sudah dimulai sejak 2004 dan baru selesai dibahas pada 2009. Sehingga keberadaan PP tersebut sudah melalui proses yang cukup panjang.
“Kami mempersilahkan masyarakat untuk melakukan gugatan. Karena uji materi atas PP tersebut di MA berlaku 90 hari sejak ditetapkan, dan saat ini masih ada waktu sekitar 25 hari. Selain itu PP bisa mundur atau lebih cepat berlaku karena sedang menunggu terbitnya peraturan menteri (permen),” tambah dia.
Yang jelas pihaknya berharap masyarakat tidak melakukan black campaign atau kampanye hitam kalau nantinya PP mulai diberlakukan. Karena hal itu akan merugikan dunia pariwisata tidak hanya di kawasan Bromo Tengger Semeru namun juga secara nasional.
Pihaknya juga berharap sebaiknya PP berjalan dulu sekitar enam bulan, setelah itu bisa dilakukan evaluasi terkait penerapan di lapangan sejauhmana tingkat kunjungan atau kepuasan atas PP tersebut.
“Kalau nantinya ternyata tingkat kunjungan atau kepuasan akibat PP tersebut menurun maka bisa dilakukan review,” tandasnya.