Bisnis.com, JAKARTA - Tidak kooperatifnya PT Makira Nature dalam pemberesan aset membuat kurator dan kreditur perusahaan investasi emas itu meminta Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan surat penahanan badan atas para direksi perusahaan.
Salah satu kurator, Hardi Saputra Purba, mengatakan permintaan penahanan telah diserahkan ke majelis hakim yang menangani perkara pailit itu. Namun, belum ada perkembangan atas permohonan itu.
"Permohonan sudah disampaikan sejak 3 bulan lalu. Bukan hanya kurator, banyak kreditur yang juga mengajukan permintaan ini," ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (16/2/2014).
Permohonan itu dilakukan berdasarkan Pasal 93 dan Pasal 95 Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Beleid itu menyatakan pengadilan dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa.
Masa penahanan paling lama 30 hari dan permintaan ini harus dikabulkan oleh pengadilan. Tidak hanya direksi, komisaris Makira juga dimohonkan penahanan serupa.
Sejak dinyatakan berstatus PKPU, direksi maupun kuasa hukum Makira tidak pernah menghadiri rapat kreditur yang dijadwalkan pengadilan. Direksi dan komisaris perusahaan juga tidak diketahui keberadaannya.
Selain permintaan penahanan, Hardi mengungkapkan kurator dan kreditur berencana melaporkan Makira ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri karena tidak menyerahkan aset-aset perusahaan serta diduga melakukan penggelapan. "Setelah kami mengecek inventaris boedel pailit, aset-aset yang mereka klaim ternyata bukan atas nama Makira. Semuanya atas nama pihak ketiga yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan. Dari segi hukum ini sama dengan penipuan," terangnya.
Aset-aset tersebut antara lain berupa tanah dan mobil. Sebidang tanah di kawasan Depok, yang dalam masa PKPU disebutkan sebagai salah satu aset milik perusahaan, ternyata milik orang lain.
Hardi menuturkan direksi Makira pun sedang dicari oleh para pemilik tanah karena ada sengketa mengenai kepemilikan tanah tersebut. Dia melanjutkan laporan keuangan perusahaan bermasalah serta banyaknya pengalihan dana ke rekening pribadi direksi.
Sebagian dana nasabah, lanjut Hardi, ada yang dialirkan ke anak-anak perusahaan Makira. Jumlahnya cukup besar dan sampai sekarang tidak jelas keberadaannya.
Dia berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan yang jelas mengenai perusahaan investasi semacam ini karena Makira bukan satu-satunya yang terjerat kasus.
Terkait jumlah kreditur dan tagihan, per Oktober 2013 sekitar 2.000 kreditur yang mendaftar dengan nilai hampir Rp600 miliar. Padahal, nasabah Makira sebelumnya diperkirakan mencapai 4.580 orang.
Seperti diketahui, Makira telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 23 Agustus 2013. Putusan itu mengakhiri masa PKPU yang telah berlangsung sejak April 2013.
Dalam putusannya, majelis hakim menilai debitur tidak pernah menghadiri rapat kreditur maupun memberikan proposal perdamaian kepada para nasabahnya.
Padahal, awalnya Makira memang dimohonkan pailit oleh krediturnya. Nasabah perusahaan bernama Ramsys Putra mengajukan permohonan itu karena Makira tidak kunjung membayar dividen dan cash back atas pembelian emas seberat 5.000 gram senilai Rp3,39 miliar.
Namun, pada sidang pertama pihak perusahaan itu langsung memasukkan permohonan PKPU sendiri kepada majelis hakim.
Majelis hakim yang ketika itu dipimpin oleh Sutoto Adiputro lantas mengabulkan permohonan PKPU, sesuai dengan ketentuan di UU Kepailitan dan PKPU. Beleid itu menyatakan apabila ada permohonan pailit dan PKPU berbarengan, maka yang harus diputuskan lebih dulu adalah perkara PKPU.
Sebelum putusan pailit dijatuhkan, para nasabah juga sempat meminta pengguguran perkara ke pengadilan. Permohonan itu didasarkan pada Pasal 124 HIR yang menyatakan jika penggugat tidak datang pada hari sidang meskipun sudah dipanggil secara patut, maka surat gugatannya dianggap gugur. (AMA)