Bisnis.com, JAKARTA--Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menilai pencantuman agama dalam elektronik kartu tanda penduduk atau e-KTP penting, karena selain fungsi pelayanan dari pemerintah dapat dimaksimalkan, juga dapat mencegah perkawinan campuran beda agama.
“Pencantuman agama dalam e-KTP perlu dimunculkan, tetapi itu bukan dimaksudkan sebagai tindakan diskriminasi bagi agama-agama di luar Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu,” ujarnya seperti muat situs resmi Kementerian Agama, Sabtu (4/1/2014).
Menurut Wamenag, penghapusan agama dalam e-KTP lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Dari sisi undang-undang perkawinan saja misalnya, jika seorang muslim tidak mengetahui agama yang dianut calon isteri kemudian menikah, perkawinannya menurut fikih tidak sah. Bahkan anak yang lahir dari buah perkawinan itu disebut anak zina.
Jika dipaksakan tidak mencantumkan agama dalam e-KTP, menurut Wamenag, bisa menabrak aturan dan undang-undang lainnya. "Belum lagi terkait masalah hak perlindungan dan hak asuh anak. Seorang anak muslim harus diasuh pula oleh keluarga yang menganut agama yang sama."
Sebagaimana diketahui dalam Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (RUU Adminduk) yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 telah disetujui DPR pada rapat paripurna, 26 November 2013 lalu.
Dalam UU Adminduk disebutkan setiap warga harus memilih dan mencantumkan agama yang diakui pemerintah. Agama yang diakui pemerintah, menurut Kementerian Agama adalah Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu.
Wamenag menegaskan pencantuman agama dalam e-KTP jangan dimaknai sebagai menghalangi warga untuk melaksanakan agama dan ibadahnya. "Justru jika dihilangkan bisa menimbulkan kekacauan hukum, hak orang lain diabaikan."
Senada dengan itu, Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat menyatakan justru dengan mencantumkan agama dalam e-KTP fungsi pelayanan agama dari pemerintah dapat maksimal. Khususnya bagi umat Islam, seperti dalam mengurus perkawinan, kelahiran dan kematian.
"Termasuk pula bagi pemerintah ketika memberikan remisi bagi narapidana, yang biasanya diberikan saat hari besar agama seperti Idul Fitri dan Natal," tukasnya.