Bisnis.com, JAKARTA – Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memperkirakan tingkat pelayanan publik di tingkat kabupaten/kota stagnan, seiring dengan berhentinya jumlah daerah yang memiliki tingkat inovasi yang cukup tinggi.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng menyebutkan prediksi tersebut didasarkan atas laju pertambahan daerah yang inovatif cenderung berhenti dan tidak bertambah sepanjang 2001-2011.
Sepanjang 2001-2011, KPPOD melihat tidak adanya pertambahan jumlah daerah yang memiliki sistem yang efisien, terobosan inovasi. Dia menyebutkan, dari 505 kabupaten/kota, hanya sekitar 10% saja atau 50 daerah yang tergolong efisien dan inovatif misalnya Sragen.
“Banyak daerah yang reformasi birokrasinya tidak tuntas sehingga fungsi pelayanan publik pun juga terkesan seadanya,”ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (1/1).
Dia menyatakan model otonomi daerah yang ada memang harus dievaluasi secara maksimal karena sejak pelaksanaannya 14 tahun lalu, kualitas pelayanan publik dinilainya cenderung berhenti atau bahkan menurun kualitasnya.
Apalagi, seiring dengan semakin dekatnya penyelenggaraan pemilu, dia memperkirakan tingkat pelayanan publik akan semakin jeblok akibat teralihnya perhatian kepala daerah untuk memenangkan partai masing-masing. “Tahun politik saya rasa tidak sejalan dengan semangat perbaikan layanan publik,”tambahnya.
Dia juga menambahkan kecenderungan daerah yang memiliki kemajuan dalam inovasi dan pelayanan publik bergantung pada sosok pemimpin daerah sehingga ketika masa jabatan kepala daerah yang dinilai bagus itu selesai, daerah tersebut akan kembali jeblok peringkatnya.
Fakta tersebut, ungkapnya, bisa dilihat dari daerah Jembrana dan Solo, setelah kepala daerah yang berkualitas itu selesai menjabat, tidak ada kemajuan yang dihasilkan. Seharusnya sistemnya juga harus didorong agar ketergantungan seperti itu tidak terjadi.
“Belum lagi ketika dilihat daerah otonomi baru [DOB] antara lain Maluku Utara dan Nusa Tenggara, bisa diperkirakan tentunya sejauh mana kualitas pelayanan publiknya,”katanya.
Sementara itu, data yang dirilis Ombudsman RI menunjukkan jumlah pengaduan masyarakat pada 2013 tercatat sebanyak 4.359, meningkat signifikan 97,33% dibandingkan kenaikan pada 2011-2012 yang hanya 18,32%.
Yang menarik, terdapat 5 instansi yang konsisten berada di peringkat lima besar sejak 2012-2013 yaitu pemerintah daerah, kepolisian, instansi pemerintah/kementerian, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan BUMN/BUMD.
Jumlah pengaduan terbanyak didapatkan oleh pemerintah daerah yaitu 1.910 atau setara dengan 43,8%, meningkat dibandingkan jumlah laporan pada tahun sebelumnya sebesar 769 (34,8%).
Jika diperinci, pemerintah daerah pada tingkat kabupaten/kota mendapatkan porsi yang cukup tinggi yaitu 81,1% disusul oleh pemerintah provinsi 11,4%, kelurahan 3,3%, desa 2,2%, dan kecamatan 2,0%.
Di lain pihak, Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan Budi Santoso menyebutkan tiga besar kategori pelaporan masyarakat terkait pelayanan publik antara lain disebabkan oleh penundaan berlarut 25,9%, penyimpangan prosedur 18,3%, dan penyalahgunaan wewenang 13,8%,
“Pengaduan terkait rendahnya pelayanan publik di tingkat kabupaten/kota akan disampaikan pada daerah yang bersangkutan guna menciptakan transparansi dalam penyelenggaraan kepentingan publik,” ungkapnya. (Amanda K. Wardhani)