Bisnis.com, JAKARTA - Hujatan terhadap perbuatan asusila yang dilakukan seniman/penyair nasional Sitok Srengenge terhadap mahasiswi Universitas Indonesia, masih terus bergulir.
Apalagi korban dugaan tindakan pemerkosaan oleh Sitok, tidak hanya satu. Suara publik di media sosial umumnya menyesalkan perbuatan Sitok karena telah mencoreng wibawa dunia kesusastraan Tanah Air.
Yasraf Amir Piliang, seorang pemikir sosial menilai saat ini hampir tidak ada lagi yang bisa diandalkan dari tokoh masyarakat. Dekadensi moral terjadi hingga ke berbagai aspek profesi.
“Sekarang apa yang bisa diharapkan dari pejabat publik, pemuka agama bahkan penyair sekalipun,” katanya kepada Bisnis.
Penyair atau seniman merupakan ujung tombak selain para pejabat dan tokoh agama yang kerap berbicara nilai-nilai kemanusian dan moralitas.
Bahkan, kritikan sosial secara tajam seringkali disuarakan penyair. Namun justru apa yang dilakukan seniman terkadang jauh dari realitas karya yang dihasilkan.
Memang, rumor di dunia kepenyairan tentang pelecehan seksual bukanlah hal baru yang dilakukan oknum penyair.
Pradewi Tri Chatami, seorang penyair muda asal Bandung bahkan sempat menggebrak dengan membongkar kebejatan oknum penyair dalam sebuah esai berjudul Surat Untuk Tuan Penyair yang ditulis pada Januari 2013.
Esai itu bercerita tentang pengalaman dirinya yang dilecehkan oleh oknum penyair. Esai di-publish di jejaring sosial Facebook miliknya, sehingga mengundang kritikan pedas dari para penyair sendiri.
Mereka [penyair] menilai apa yang ditulis Pradewi merupakan fitnah tanpa bukti kuat. Dia dianggap mencoreng profesi penyair.
Namun, seniman lain bahkan mendukung untuk membongkar dan menyuarakannya ke publik luas. Sebagian sastrawan, membenarkan bahwa dalam dunia kepenyairan hal tersebut sudah biasa terjadi. Hanya saja, korban pelecehan tidak berani mengungkapkannya.
Pradewi mengaku benar-benar pernah mengalami pelecehan oleh oknum penyair dalam sebuah kesempatan. Dan, ketika dirinya berbagi pengalaman dengan penyair perempuan lain, ternyata bukan hanya dia saja yang mengalami.
Dengan kasus beragam, dan pelaku yang beragam pula, dia melihat belum ada korban berani bicara terang-terangan. Bahkan sebagian kalangan menganggap kasus tersebut merupakan hal yang wajar dalam dunia kepenyairan.
Dia sendiri mengaku secara pribadi berani melakukan protes terhadap sang oknum. Namun, tidak semua korban pelecehan seksual bisa melakukan protes langsung seperti dirinya. Sehingga akhirnya dia memutuskan menulis esai tersebut untuk bersuara dan berusaha menekan jumlah korban selanjutnya. “Agar hal seperti ini tidak terjadi lagi, dan semua orang sadar bahwa kasus ini adalah masalah yang serius,” katanya.
Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB memaparkan bahwa moralitas kini sudah menjadi urusan pribadi dan bukan menyangkut profesi. Adapun, dalam dunia kepenyairan yang kerap menyuarakan nilai dan moralitas, seharusnya membentuk perilaku keseharian.
Dia sendiri tidak menampik jika menilik sejarah seni kepenyairan Indonesia memang tak sedikit bermuatan paradoks. Dia memberi contoh, penyair Chairil Anwar yang dielu-elukan dan banyak menyanjung puisi-puisinya, memiliki kehidupan tak sesuai dengan karyanya. Chairil, katanya, hidup dengan gaya bohemian atau urakan.
“Maka menurut saya persoalan kepenyairan adalah persoalan kemanusiaan secara umum. Manusia banyak berbicara sesuatu yang ideal, tetapi dalam pelaksanaanya banyak yang tidak kongkrit,” ungkapnya.
BACA JUGA: Pengakuan Anak Sitok Srengenge