Bisnis.com, MALANG - Bisnis perumahan bersubsidi diprediksi moncer pada 2014 bersamaan dengan pemberlakuan upah minimum kabupaten/kota yang baru serta naiknya harga rumah.
Ketua Koordinator Wilayah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman (Apersi) Malang DPD Jatim Makhrus Sholeh mengatakan problem bisnis perumahan bersubsidi terutama pada dua aspek, yakni harga dan tingkat kemampuan end user.
“Dengan naiknya UMK Kab. Malang 2014 menjadi Rp2,043 juta, maka tingkat banyak end user yang bankable untuk menerima KPR bersubsidi,” ujarnya, Selasa (19/11/2013).
Dengan gaji Rp2,043 juta, pekerja sudah bankable untuk menerima KPR bersubsidi. Apalagi jika isteri buruh juga bekerja serta ditambah uang lembur.
Meski harga jual rumah bersubsidi dinaikkan pemerintah menjadi Rp105 juta per unit untuk wilayah Jatim, harga rumah sebesar itu masih terjangkau pekerja.
Kenaikan rumah bersubsidi tersebut, jelas menguntungkan pengusaha sebagai kompensasi kenaikan upah tukang, bahan material bangunan, dan harga tanah.
Karena itulah, dari sisi permintaan dan pasokan atas rumah bersubsidi menjadi seimbang. Di satu sisi, pengembang antusias menyediakan rumah bersubsidi, di sisi lain masyarakat banyak yang berkemampuan membeli rumah sehingga pada 2014 diprediksi bisnis perumahan bersubsidi di Malang akan marak.
Dalam suatu kesempatan, Wakil Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Jatim Tri Wediyanto Yang juga menjadi kendala, terkait dengan bantuan prasarana, sarana, utilitas (PSU) dari pemerintah. Bantuan PSU dari pemerintah biasanya tidak penuh.
Dia mencontohkan pengembang membangun 450 unit rumah, namun realisasinya hanya 50 unit.
Agar pengembang tidak merugi, maka mereka membebankan biaya pengadaan PSU ke end user sehingga mengurangi daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), apalagi jika pemerintah menaikkan harga rumah bersubsidi sebesar 20%.
Direktur PT Bulan Terang Utama, pengembang perumahan bersubsidi di Kota Malang, Umang Gianto, mengatakan untuk mendapatkan PSU dengan jumlah besar dari pemerintah sebenarnya mudah, yakni luasan proyek perumahan haruslah signifikan.
Dengan begitu, pemerintah dalam menghitung besaran bantuan PSU kepada pengembang perumahan bersubsidi menjadi lebih mudah.
Syarat lainnya, kata Makhrus, perlunya perbaikan layanan birokrasi di di tingkat kecamatan dan desa yang saat ini masih bermasalah.
Mereka tidak segan-segan memungut upeti dengan berbagai alasan sehingga berdampak malasnya pengembang merealisasikan proyek perumahan bersubsidi.
Padahal, keuntungan yang diterima pengembang perumahan bersubsidi relatif lebih kecil bila dibandingkan pengembang perumahan mewah dan menengah.