Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005.
"Terakhir saya mendapat laporan sudah 309 kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana," kata Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Selasa (8/10).
Angka tersebut menembus perkiraan Dirjen Otda yang sebelumnya memprediksi kepala daerah terjerat korupsi akan mencapai 300 pada akhir 2013.
"Awalnya hanya 173 kepala daerah, saya pernah bilang akhir tahun 2013 angka ini bisa menembus 300, ternyata belum sampai akhir (tahun) sudah lebih dari 300," kata Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) ini.
Berdasarkan catatan Kemendagri, sebanyak 304 kepala daerah tercatat terlibat dalam kasus korupsi.
Angka tersebut melambung cukup signifikan selama sepekan, termasuk kasus dugaan suap Bupati Gunung Mas Hambit Bintih terhadap Ketua non-aktif Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar baru-baru ini.
Biaya politik mahal tidak hanya terjadi pada saat penyelenggaraan pilkada berlangsung, tetapi juga ketika ada sengketa pilkada yang harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Belum lagi praktik politik transaksional yang terjadi dalam proses putusan sengketa pilkada tersebut.
Djohermansyah menjelaskan faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu adalah tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah berlangsung.
"Korupsi (kepala daerah) itu terjadi karena biaya tinggi selama pilkada, karena dalam politik tidak ada yang gratis. Ketika orang ingin mendapat kursi jabatan dalam pilkada, uang yang dikeluarkan tidak sedikit," ujarnya.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir praktik korupsi di daerah, Kemendagri mengusulkan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau melalui perwakilan rakyat di DPRD untuk tingkat kabupaten dan kota.
"Sejak pilkada secara langsung pada tahun 2005, semakin lama penyelenggaraannya makin buruk. Inti pokok persoalannya pada biaya yang mahal dalam penyelenggaraan pilkada," katanya. (Antara)