Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penangkapan Ketua MK, Kembalikan Peran Pengawasan Komisi Yudisial!

Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi RI pernah menjadi penunggang gelap pada proses pengujian UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang diajukan oleh 31 Hakim Agung.

Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi RI pernah menjadi penunggang gelap pada proses pengujian UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang diajukan oleh 31 Hakim Agung.

Mahkamah Konstitusi menganggap Komisi Yudisial tidak lagi berwenang mengawasi Hakim Agung dan Kakim Konstitusi. Pada sidang 26 Agustus 2006, putusan dibacakan oleh Jimly Asshiddiqie.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 005/PUU-IV/2006, memangkas kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Argumentasi pemangkasan kewenangan itu semata-mata karena kedudukan Komisi Yudisial yang bukan primary state institution.

Komisi Yudisial hanyalah cabang dari kekuasaan kehakiman yang tidak sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Akhirnya, revisi UU Mahkamah Konstitusi juga hanya mengakomodir pengawasan internal dalam bentuk Majelis Kehormatan Hakim yang bersifat ad hoc dan bekerja saat ada peristiwa pelanggaran kode etik.

Desain kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang tanpa pengawasan memang salah satu bentuk anomali demokrasi konstitusional yang mensyaratkan adanya ruang kontrol dan keseimbangan (check and balances) antara satu lembaga dengan lembaga yang lain.

Karena itu, kehadiran Komisi Yudisial dengan kewenangan pengawasan terhadap hakim konstitusi semestinya dipandang sebagai bentuk perwujudan check and balances. Tidak pernah dibenarkan dalam demokrasi konstitusional hadir lembaga negara yang superbody, lebih supreme dari yang lain dan tanpa kontrol.
 
Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mochtar, semestinya menjadi momentum untuk mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi.

Apalagi, perlahan tetapi sistematis, Mahkamah Konstitusi sedang mengalami erosi (pengikisan) integritas dan kewibawaan akibat pola rekruitmen hakim yang tidak transparan dan akuntabel, serta standar kenegarawanan yang absurd.

 

Pengirim:

Hendardi, Ketua SETARA Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper