Bisnis.com, JAKARTA - Isu perusahaan kelas kakap menikmati subsidi listrik triliunan rupiah menjadi sorotan utama berbagai media nasional hari ini (27/9/2013), selain itu isu pembatasan gerak investor tambang serta masuknya Grup Lippo ke bisnis pengolahan hasil tambang mineral (smelter).
Berikut ini ringkasan berita-berita utama media Ibu Kota:
Perusahaan Besar Sikat Subsidi
Sebanyak 61 perusahaan kelas kakap menikmati subsidi listrik triliunan rupiah selama ini. Pada tahun 2012 saja, subsidi yang tercurah ke semua perusahaan tersebut mencapai Rp6,9 triliun. Subsidi juga mengalir deras ke ratusan perusahaan terbuka (KOMPAS).
Melibas Dominasi Asing di Tambang
Investor di sektor tambang mineral dan batu bara harus berpikir dua kali untuk menanamkan duitnya di Indonesia. Maklum, dua aturan Kementerian ESDM dalam bidang pertambangan akan semakin membatasi gerak mereka (KONTAN).
OJK, Lembaga “Supermoney”
Hasil kerja yang masih minim namun meminta fasilitas segunung. Mungkin inilah yang terjadi pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga baru yang digadang-gadang sebagai “superbody” itu kini berubah menjadi lembaga “supermoney” lantaran meminta banyak sekali fasilitas.
Padahal OJK belum menorehkan kinerja dan prestasi positif melainkan serapan anggarannya rendah. Lihat saja, OJK meminta anggaran tambahan kepada Komisi XI DPR sebesar 5,2 triliun untuk membangun 35 gedung kantor baru. Sedangkan untuk remunerasi 1.300 pegawai Bank Indonesia mutasi ke OJK senilai Rp810 miliar (NERACA).
Lippo Masuk Bisnis Smelter
Grup Lippo memasuki bisnis pengolahan hasil tambang mineral (smelter). Untuk tahap awal, Lippo menggandeng Shenhua Group, Tiongkok, untuk membangun pusat smelter di Cirebon (INVESTOR DAILY).
Return Obligasi Indonesia Paling Rendah
Return obligasi Indonesia dalam mata uang lokal selama periode semester I 2013 tercatat paling rendah dibandingkan return obligasi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur, berdasarkan data Asian Development Bank. Pasar finansial di negara-negara berkembang menghadapi risiko yang tinggi akibat tingginya tingkat suku bunga acuan dan depresiasi mata uang lokal (INDONESIA FINANCE TODAY).