Bisnis.com, PEKANBARU - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar diprediksi memacu penanaman modal asing di Provinsi Riau.
Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BPMPD) Riau Adizar meramal PMA di Riau bakal menembus angka Rp10 triliun tahun ini.
"Indikasi bahwa pelemahan rupiah bakal mengatrol investasi sudah terlihat. Beberapa perusahaan luar negeri sudah menyatakan niatnya untuk berinvestasi," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (29/8/2013).
Adizar menambahkan nilai investasi di Riau per semester I tahun ini mencapai Rp8,41 triliun. Pada triwulan I investasi mencapai Rp5,62 triliun, dengan investasi di triwulan berikutnya sebesar Rp2,79 triliun.
Nilai investasi tersebut, lanjutnya, masih merupakan perencanaan. Menurutnya, realisasi investasi tersebut bakal mulai terlaksana pada 6 bulan terakhir tahun ini.
"Rencana investasi asing paling baru adalah pembangunan pabrik gula rafinasi di Kota Dumai. Nilai investasinya lebih dari Rp1 triliun," terangnya.
Zulkarnain, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Riau, mengatakan pemerintah daerah harus mengarahkan investasi yang masuk ke sektor hilir. Menurutnya, hal tersebut bakal mengoptimalkan potensi di industri hulu yang terdapat di Riau.
"Investasi harus diarahkan ke industri hilir berbasis sumber daya lokal. Dengan cara tersebut, potensi perkebunan Riau yang luasnya mencapai 2,3 juta hektare bisa dioptimalkan," ujarnya.
Guna menggenjot investasi, lanjutnya, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas pelayanan publik. Selain itu, pengembangan pelayanan satu atap juga harus dimaksimalkan.
Meski demikian, lanjutnya, Penanaman Modal Dalam Negeri harus lebih digencarkan. Menurutnya, hal tersebut bergunan untuk mengantisipasi melemahnya arus Penanaman Modal Asing.
Pemerintah, lanjutnya, harus aktif mempromosikan daftar investasi yang masih potensial untuk dikembangkan. Salah satu sektor yang masih belum tergarap adalah tanaman pangan.
"Kalau sektor tanaman pangan dikembangkan, maka impor akan berkurang. Namun, kebijakan untuk mengembangkan industri di sektor ini memang belum terlalu baik," terangnya.
Zulkarnain membandingkan kondisi produksi tanaman pangan di Indonesia dengan Thailand. Menurutnya, di Negeri Gajah Putih, produksi tanaman pangan langsung dikontrol oleh kerajaan.
Penyaluran kredit ke sektor tanaman pangan di Thailand, lanjutnya, ditangani oleh sebuah bank khusus sehingga mempermudah kredit. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia yang penyaluran kredit ke sektor tanaman pangannya masih minim.
"Pertanian di Thailand juga berkembang karena penciptaan pasar yang baik. Di Indonesia, kerapkali perencanaan produksi tidak sejalan dengan penciptaan pasar," ungkapnya.
Zulkarnain menyebut ketidaksinkronan produksi dan pemasaran ditunjukkan oleh pembangunan terminal agribisnis di Kota Dumai yang sia-sia akibat ketiadaan pasokan.