Bisnis.com, JAKARTA--Mantan hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan menilai pemutusan hubungan kerja dengan dalih reorganisasi dan efisiensi merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 yang membatalkan bunyi Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No.13/2013 tentang Ketenagakerjaan.
“PHK tidak dapat dibenarkan dengan alasan reorganisasi dan efisiensi. Tindakan itu melanggar hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain,” ungkap Maruarar yang dimintai pendapatnya oleh kuasa hukum tergugat Judith Jubilina Navarro Dipodiputro, melalui kuasa hukumnya dari Kantor Pengacara OC Kaligis dalam sidang lanjutan sengketa perselisihan pemutusan hubungan kerja antara Total E&P Indonesia (TEPI) sebagai penggugat di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta, Senin (29/7/2013).
Perusahaan minyak dan gas, TEPI, melalui kuasa hukumnya Kemalsjah Siregar dari Kantor Hukum Kemalsjah & Associates mengajukan gugatan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja No.43/PHI/G/2013 PN.Jkt Pst terhadap tergugat Judith Jubilina Navarro Dipodiputro.
Dalam gugatannya disebutkan sejak 29 Februari 2012, perusahaan tersebut memberitahukan tergugat terhitung sejak 1 April 2012, penggugat melakukan reorganisasi pada Divisi Communication and Public Affairs. Akibatnya, sejak 1 April 2012 tidak ada lagi posisi Vice Presiden Public Affairs and Communication yang selama ini dijabat tergugat di perusahaan tersebut.
Ahli di bidang hukum konstitusi itu menambahkan setiap perusahaan minyak dan gas bumi ( yang beroperasi di Indonesia terikat pada Pedoman Tata Kerja BP Migas No.018/PTK/X/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusia Kontraktor Kerjasama.
Pedoman kerja itu, lanjutnya, dibuat pemerintah membentuk suatu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan di bidang Migas di Tanah Air. “Jadi, adalah wajar jika semua pihak atau perusahaan yang beroperasi di bidang Migas untuk mematuhi pedoman kerja tersebut, jika terjadi pelanggaran dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum,” katanya.
Pemutusan hubungan kerja dengan seorang karyawan dengan dalih efsiensi juga tidak dapat dibenarkan untuk diberlakukan. “Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, kecuali perusahaan tersebut tutup. Itu saja.”.
Pengawasan yang dilakukan pemerintah melalui badan yang dibentuk untuk mengawasi operasionalisasi perusahaan bidang migas sangat diperlukan keberadaannya. “Badan yang dibentuk adalah kepanjangan tangan pemerintah dalam menjaga dan melindungi asset pemerintah yang dikelola perusahaan asing,” katanya.
Selain itu, tambahnya, kebiasaan perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia menjadikan karyawan itu sebagai objek, bukan subjek hukum yang patut dihormati. “Kita wajib hukumnya melindungi pihak yang lemah,” ujarnya.
Dia menyesalkan sikap perusahaan besar asing yang memutuskan hubungan kerja seorang warga negara Indonesia (WNI) yang telah menjabat vice president dengan sewenang-wenang. “Setdaik-tidaknya tindakan terhadap seorang karyawan dengan jabaran yang biasa saja wajib dibela, apalagi seseorang yang telah menjabat vice president diperlakukan secara sewenang-wenang wajib hukumnya dibela.”
Pembelaan itu, tambahnya, juga untuk melindungi hak seorang pekerja yang telah bekerja secara profesional dan menjaga asset negara yang dikelola perusahaan asing. Keberadaan WNI yang kedudukannya lebih tinggi di perusahaan paling tidak dapat melakukan pengawasan terhadap operasionalisasi perusahaan pertambangan yang dikelola asing tersebut.
“Tujuannya adalah seorang warga negara itu setidak-tidaknya dapat melindungi aset atau kekayaan negara yang dikelola pihak asing tersebut."
Kuasa hukum tergugat, melalui Kantor Hukum OC Kaligis mengklaim tindakan memutuskan hubungan kerja yang dilakukan penggugat terhadap tergugat adalah sangat mengada-ada. “Apalagi tindakan itu hanya berlaku pada tergugat sendiri, sedangkan 70 karyawan yang berada di lingkungan tergugat tidak terkena sanksi pemutusan hubungan kerja.”
Menanggapi pendapat ahli itu, Kemasjah Siregar mengatakan tidak ada sanksi hukum yang melanggar jika suatu perusahaan melakukan PHK terhadap karyawannya. “Kami bersedia membayar berapa besar kewajiban yang diberikan kepada karyawan tersebut. Untuk tergugat, perusahaan telah menawarkan pesangon lebih dari Rp2 miliar,” katanya.