BISNIS.COM, YOGYAKARTA—Masih hangat di ingatan saat terjadi erupsi gunung Merapi hebat pada 5 November 2010 dini hari. Ratusan korban tewas dan luka bakar kelimpungan di sekitar bantaran Kali Gendol Cangkringan Sleman.
Korban tewas ditemukan ada yang dalam posisi terkapar mengendarai sepeda motor, sedang di dalam mobil minibus, posisi menyelamatkan diri, dan ada pula yang sedang terbaring pulas di tempat tidur. Lokasi tewasnya korban itu hanya berjarak tidak lebih dari 50 meter bibir kali, semuanya mengalami luka bakar melepuh.
Mereka adalah warga yang salah jalan ketika berusaha menyelamatkan diri dari ancaman erupsi Merapi. Bantaran Kali Gendol yang seharusnya dihindari ketika menuju lokasi aman bencana alam justru ramai-ramai dilewati masyarakat dengan anggapan sepanjang jalur pinggir kali merupakan akses mulus menyelamatkan diri .
Hal itu ternyata salah, jalur evakuasi pinggir kali pertama kali dicoret saat ada banjir lahar.
Selain pengungsi yang salah jalan, tewasnya warga juga disebabkan adanya luberan material panas dari perut Merapi yang mengalir seenaknya menuju titik yang lebih rendah. Sungai gendol yang saat itu berkedalaman 40 meter pun dalam sekejap penuh material membara lantas meluber sampai pemukiman warga dan jalan raya.
Sabo dam yang dibangun memakai biaya ratusan miliar ternyata tidak mampu membendung kehendak alam. Akhirnya luncuran material 140 juta m3 bergerak liar semaunya membuat warga di sekitarnya pasrah.
Atas kejadian ini, perkiraan ahli meleset tentang erupsi Merapi yang tidak memperkirakan ujung lava bisa sejauh 16 kilometer dari puncak. Sang pembuat sabo dam yakni Balai Sabo Yogyakarta di bawah Kementerian Pekerjaan Umum tidak bisa berbuat apa-apa karena sabo dam didesain bukan untuk mengantisipasi lahar panas seperti itu.
“Konsepnya sabo dam mengendalikan lahar dingin, kalau terjadi awan panas bangunan [sabo dam] tidak berfungsi,” ujar Kepala Balai Sabo Yogyakarta Untung Budi Santoso saat menerima peserta Bimbingan Teknis Kehumasan ‘Memahami Merapi dan Rehabilitasi Rekonstruksi Pasca Merapi’ di kantor Balai Sabo Maguwoharjo Yogyakarta, Rabu (19/6/2013).
Untung mengakui kekuatan alam tidak bisa diantisipasi menggunakan bangunan buatan manusia. Riwayat ketinggian lahar panas selama ni hanya di kisaran tebal sekitar 2-3 meter. Sayangnya alam berkehendak lain sehingga praktisi ilmu pengetahuan tentang sabo dam sebagai bangunan antisipasi lahar ikut terperangah.
Pengalaman itu menjadi catatan evaluasi untuk Balai Sabo Yogyakarta dalam rangka memperbaiki kerusakan bangunan. Selam erupsi Merapi 2010 disusul banjir lahar dingin tercatat sebanyak 77 sabo dam yang berada di 15 sungai perlu mendapat rehabilitasi.
Endro Nusianto, Tenaga Ahli Sabo Pengendalian Lahar Gunung Merapi menyatakan 58 bangunan sudah diperbaiki dalam kurun waktu 2 tahun belakangan. Masing masing 44 unit sabo dam diperbaiki tahun anggaran 2012 sebesar Rp600 miliar dan 14 unit dibangun tahun 2013 dengan anggaran Rp250 miliar semuanya memakai dana APBN pos Kementerian PU.
Proyek perbaikan sabo dam sisanya akan dilanjutkan bertahap memakai dana pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Diperkirakan dana pinjaman yang dikucurkan JICA sebesar Rp500 miliar bertenor lima tahun.
Rencananya dana akan dipakai menyusun masterplan evaluasi pembangunan sabo, membangun pemandu alur lahar di Kali Putih Magelang dan kantong pasir kali Gendol. “Tapi untuk 2014 prioritaskan bangun ground sail di Kali Putih dan sand pocket di Gendol,” kata Endro.
Pembangunan sand pocket (kantong pasir) rencananya memakan tiga wilayah desa di Cangkringan yakni Argomulyo, Wukirsari dan Glagaharjo. Kantong ini sebagai penampung material pasir Merapi yang terbawa aliran lahar dingin.