BISNIS.COM, SEMARANG – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai sumber daya manusia di Indonesia saat ini belum siap menghadapi pemberlakukaan ASEAN Economic Community 2015, menyusul masih minimnya jumlah tenaga kerja berkompeten yang sesuai dengan pasar dunia usaha.
Wakil Ketua Umum Bidang Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Benny Soetrisno mengatakan Indonesia masih kekurangan tenaga kerja profesional berkompeten sesuai dengan kebutuhan dunia usaha akibat belum terealisasinya link and match sektor pendidikan dan pasar tenaga kerja.
“Sekarang ini, untuk bidang tekstil dan garment saja, dari sekitar 1,3 juta tenaga kerja yang ada, hanya 57% yang berkompeten, sementara sisanya 43% diantaranya masih perlu penggemblengan lebih keras lagi,” tuturnya, di Semarang, Senin (29/4/2013).
Menurutnya, apabila hal ini dibiarkan dan tidak segera diambil langkah dari pemerintah, tenaga kerja Indonesia tidak akan memiliki daya saing adan akan ketinggalan dengan tenaga kerja asing.
“Saat ini masih banyak tenaga kerja asing di bidang tekstil, terutama untuk level manajerial, sementara tenaga kerja Indonesia kebanyakan hanya pada level operator saja. Akibatnya, banyak aksi pembajakan tenaga kerja berkompeten antar perusahaan,” ujarnya.
Ketua Komite Tetap Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja Kadin, Sumarna Abdurahman mengatakan permasalahan utama kurangnya tenaga berkompeten itu adalah akibat tidak adanya standarisasi kompetensi serta kurang sesuainya kurikulum yang diajarkan di sekolah maupun kampus dengan kebutuhan dunia kerja.
“Untuk itu perlu ada pengembangan link and match antara dunia pendidikan dengan dunia usaha, karena saat ini hal itu tidak terealissi. Saat ini belum ada link and match antara sektor pendidikan dengan pasar tenaga kerja,” tuturnya.
Maka, lanjutnya pemerintah dan stakeholder harus bisa mengembangkan program public priviate partnership (PPP) untuk meningkatkan kualitas sektor pendidikan tersebut.
Menurutnya untuk membangun link and match dunia pendidikan dengan dunia usaha tersebut maka standar kompetensi yang disusun oleh organisasi kompetensi harus masuk dalam kurikulum pendidikan, sehingga dapat dihasilkan tenaga kerja profesional yang berkompeten.
“Saat ini ada sekitar 240 paket standar kompentensi yang belum semuanya dimanfaatkan oleh sektor pendidikan. Sehingga tenaga kerja yang dihasilkan hanya setingkat operator, sementara tenaga teknisi, ahli dan managerial sangat kurang. Pemerintah harus berani berperan serta dengan ikut aktif menyusun program pendidikan berbasis kompetensi termasuk memberikan pembiayaan pendidikan,” ujarnya.
Menurutnya pemerintah harus berinvestasi terlebih dahulu untuk memberikan pendidikan kompetensi. “Nantinya, seiring dengan meningkatnya kebutuhan pasar, maka dunia pendidikan akan mengikuti,” ujarnya.
Ketua Umum Kadin Indonesia, Suryo bambang Sulistio mengatakan untuk meningkatkan kualitas SDM nasional, diperlukan integrasi kebijakan dan koordinasi.
Menurutnya, integrasi regulasi antara pusat dan daerah sangat berguna bagi langkah dunia usaha dalam mengambil tindakan.
“Jika pemerintahnya sudah terintegrasi maka dunia usaha akan mudah mengikutinya, sehingga paa akhirnya pemerintah dapat bersinergi dengan dunia usaha, misalnya dalam proses link and match pendidikan dan pasar kerja yang dibutuhkan,” tuturnya.