BISNIS.COM, JAKARTA—Pada saat dunia kembali dikejutkan dengan isu pengeboman di Boston, Amerika Serikat pada Senin (15/4/2013), Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Stig Traavik membuka wacana mengenai pentingnya toleransi dan penghargaan terhadap HAM di tengah multikulturalisme.
Dalam kuliah umumnya yang bertajuk “Tolerance, Human Rights and Respect for Life” di Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa (16/4/2013), Stig menyerukan tentang toleransi dalam era globalisasi untuk menangkal letusan konflik sosial.
Membuka acaranya dengan penyampaian ungkapan bela sungkawa terhadap korban bom Boston, Stig lantas berkata, “Toleransi adalah tentang menghormati orang lain dan bagaimana kita berhadapan dengan hal-hal yang tidak kita sukai atau setujui.” Dia menambahkan toleransi bukan tentang ketidakpedulian.
Stig memandang Indonesia telah sukses hidup dengan tradisi saling menghormati di tengah kemajemukan latar belakang budaya, agama dan etnis selama berabad-abad. Dia mengatakan di Norwegia, tingkat multikulturalisme relatif rendah. “Kita makan makanan yang sama dan menganut agama yang sama,” jelasnya.
Menurut duta besar yang mengaku memiliki latar belakang keluarga dari berbagai macam agama tersebut, globalisasi mengubah struktur masyarakat di Norwegia menjadi lebih multikultur. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan tingkat toleransi antar warga negaranya.
“Saya seorang Muslim,” jelasnya. “Di Norwegia sangat sulit bagi seorang Muslim untuk dapat hidup. Jika kami hendak membangun masjid, masyarakat –baik Kristen maupun Islam—akan mempersulitnya dengan berbagai alasan. Disinilah seharusnya tugas pemerintah untuk memperjelas peran mereka dalam melindungi kaum minoritas.”
Menurut Stig, kaum ekstrimis juga harus dirangkul dalam penerapan multikulturalisme. Para pemuka agama sebenarnya dapat menjadi mediator dialog atau debat untuk melawan ekstrimisme. Selain itu, generasi muda juga harus dilibatkan agar mereka lebih peka terhadap isu tersebut. Salah satunya adalah melalui program pertukaran pemuda.
Menyinggung tentang tragedi bom Boston, yang memakan 3 korban jiwa dan ratusan korban luka, Stig menyatakan bahwa hal tersebut adalah “cerminan kasus seseorang yang melawan multikulturalisme.” Dia berpendapat bahwa sebagian besar ekstrimis ingin menciptakan dunia mereka sendiri.
Tugas kita adalah bagaimana menerjemahkan isu multikulturalisme ke dalam bahasa yang lebih populer sehingga dapat diterima oleh orang-orang garis keras sekalipun. “Kasus seperti Boston jangan kita tanggapi dengan kebencian, tetapi balaslah dengan perdamaian,” ujar Stig.