Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

INDUSTRI BATIK: Perajin Minta Kemudahan Bahan Baku

BISNIS.COM, SEMARANG – Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi), terutama yang begerak di industri batik meminta pemerintah untuk serius mempersiapkan produk hulu demi memudahkan perajin dalam memperoleh bahan baku. Ketua

BISNIS.COM, SEMARANG – Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi), terutama yang begerak di industri batik meminta pemerintah untuk serius mempersiapkan produk hulu demi memudahkan perajin dalam memperoleh bahan baku.
 
Ketua Asosiasi Eksportir dan Produsen Handycraft Indonesia (Asephi) Kota Pekalongan Romi Oktabirawa mengatakan hampir 80% dalam tubuh batik, bahan bakunya masih impor.
 
“Hampir 80% dalam tubuh batik itu dari impor, mulai dari kain mori sebagai bahan baku kain batiknya, lilin untuk membatik juga masih impor. Yang asli lokal paling hanya tenaga kerjanya,” tuturnya, Minggu (7/4).
 
Romi yang juga Ketua Paguyuban Pecinta Batik tersebut mengatakan bahwa pemerintah harus serius membangun produk hulu sehingga perajin semakin mudah dalam mendapatkan bahan baku dan tidak terlalu bergantung dari impor.
 
“Karena kalau tidak maka pengrajin batik akan semakin tertekan keberadaannya mengingat harga bahan impor cenderung terus mengalami kenaikan, sementara kalau tidak impor tidak bisa berproduksi,” tuturnya.
 
Dia mengatakan saat ini harga kain mori, sebagai bahan kani utama batik, sudah mengalami kenaikan harga sekitar 25%, karena selama ini untuk membuat kain mori yang bahan utamanya kapas masih mengandalkan impor, selain itu untuk lilin juga masih mengandalkan impor.
 
Apalagi, lanjutnya, saat ini para perajin dihadapkan dengan kebijakan kenaikan Tarif Tegangan Listrik (TTL) sebesar 15% secara bertahap hingga setahun ke depan, tentu akan mengakibatkan sejumalh industri melakukan penyesuaian, dan ini dipastikan dampaknya berantai.
 
“Ini akan semakin membuat kami tertekan, di tengah sejumlah harga bahan baku batik yang terus naik. Sementara kami tidak berani menaikkan harga jual produk terlalu tinggi seiring persaingan bisnis batik yang semain ketat,” tuturnya.
 
Pihaknya memilih mengurangi margin yang diperoleh meskipun tetap melakukan penyesuaian harga jual produknya, mengingat daya beli masyarakat yang belum begitu baik, apalagi untuk pasar luar negeri yang masih belum pulih dari krisis.
 
“Harga produk maksimal akan naik antara 10%-15% saja, karena mempertimbangkan daya beli masyarakat, meskipun bermacam tantangan sudah menghadang, mulai dari masih lesunya pasar luar negeri, harga bahan baku naik, daya beli masyarakat domestik maupun soal kebijakan pemerintah menaikkan TTL,” ujarnya. (k39)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fajar Sidik
Editor : Others
Sumber : Puput Ady Sukarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper