JAKARTA: Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk hakim mediasi Kusno untuk melakukan perdamaian atas perlawanan atas putusan Mahkamah Agung yang menghukum Merrill Lynch membayar ganti rugi material Rp250 miliar dan immaterial Rp1 miliar dalam perkara No.706 K/PDT/2011, tertanggal 14 Desember 20011.
“Para pelawan meminta majelis hakim untuk menangguhkan pelaksanaan eksekusi MA No.706/K/PDT/2011,”ungkap kuasa hukum PT Merril Lynch Indonesia sebagai pelawan I, Merril Lynch International Bank Limited (Merchant Bank) sebagai pelawan II, melalui kuasa hukumnya Frans Hendra Winarta dalam perlawanannya yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (6/11)
Dalam sidang perlawanan itu, Harjani Prem Ramchand sebagai terlawan telah mengajukan sita eksekusi atas putusan Mahkamah Agung.
Kedua pelawan mengatakan permohonan para pelawan didasari bukti-bukti yang menunjukkan bahwa mayoritas dalam putusan MA No.706 adalah sarat akan kekhilafan hakim, kekeliruan yang nyata dan tidak benar.
Dalam perkara ini, kuasa hukum Harjani Prem Ramcand sebagai Direktur PT Renaissance Capital Management Investment PTE. LTD, telah mengajukan permohonan sita atas aset PT Merril Lynch Indonesia dan Merril Lynch International Bank Limited Singapore Branch ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pengajuan sita aset ini dilakukan setelah surat teguran atau aanmaning dari putusan bernomor 1401/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel menurut Juniver tidak dilaksanakan oleh pihak Merrill.
Isi surat teguran tersebut hanyalah memberikan waktu dan keleluasaan kepada Merrill Lynch untuk tidak mematuhi putusan kasasi Mahkamah Agung yakni membayar ganti rugi sebesar 250 miliar dan immateriil 1 miliar rupiah atas kasus sengketa saham.
Anggota tim kuasa hukum Harjani Prem Ramchand, Hartono Tanuwidjaja mengatakan perlawanan yang dilakukan para pelawan sangat tidak berdasar. ‘Putusan MA yang telah berkekuatan hukum sudah menjadi dasar hukum yang tidak terbantahkan dengan permohonan perlawanan tersebut.”
Perlawanan yang diajukan para pelawan, katanya, tidak memiliki dasar hukum karena perkara tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada alas hukum yang dapat dijadikan dasar hukum untuk memproses perkara itu kembali. (Bsi)