JAKARTA: Sengketa pengalihan saham antara para pemegang saham PT Ridlatama Tambang MIneral dan PT Technocoal Utama Prima dan tergugat II PT Indonesia Coal Development semakin seru dengan menghadirkan pakar hukum bisnis Gunawan Widjaja.Pengajar ilmu hukum pada perguruan tinggi swasta bergengsi di Ibukota itu menegaskan jika dalam akta pengalihan saham tercantum perjanjian jual beli, maka tidak bisa dikatakan sebagai hibah saham karena ada kesepakatan pembayaran.“Jika antara pemberi dan si penerima telah bersepakat melakukan pembayaran dengan jual beli, tidak bisa dikatakan akta hibah saham,” ungkapnya dalam sidang lanjutan sengketa saham antara para pemegang saham PT Ridlatama Tambang Mineral, Ani Setiawan dan Florita yang menggugat PT Technocoal Utama Prima dan tergugat II, PT Indonesia Coal Development di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini.Kehadirian pakar bisnis Gunawan Widjaja itu diajukan kuasa hukum penggugat I, Ani Setiawan dan penggugat II, Florita yang menilai terjadi perbuatan melawan hukum dalam pengambialihan 75% atau 7500 lembar saham PT Ridlatama Tambang Mineral oleh tergugat I, PT Technocoal Utama Prima dan tergugat II, PT Indonesia Coal Development.Menurutnya, berdasarkan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) 1666 menyebutkan hibah saham itu tidak menjanjikan suatu prestasi atau pembayaran. “Namun demikian, jika terjadi jual beli saham yang dituangkan dalam suatu perjanjian antara penjual dan si pembeli, maka perjanjian jual beli saham itu tidak dapat dikatakan hibah saham ,” katanya.Menjawab pertanyaan majelis hakim, ahli hukum bisnis itu kembali menegaskan bahwa jual beli saham merujuk pada suatu perjanjian antara pihak penjual dengan pihak pembelinya. “Lain halnya dengan akta hibah saham. Artinya, tidak ada prestasi untuk dilakukan pembayaran.”Kuasa hukum penggugat I, Ani Setiawan dan penggugat II, Florita, Rendi Kailimang mengatakan pendapat ahli hukum bisnis tersebut telah mempertegas bahwa jika dalam suatu kesepakatan perjanjian jual beli saham terdapat klausul pembayaran, maka si pembeli berkewajiban membayar. “Jika tidak dilakukan pembayaran. Artinya perbuatan si pembeli merupakan perbuatan melawan hukum.”Kuasa hukum tergugat I, PT Technocoal Utama Prima dan tergugat II, PT Indonesia Coal Development, Fredrik J.Pinakunary, mengatakan keterangan ahli hukum bisnis itu semakin mempertegas keabsahan status akta hibah saham.
“Ahli secara tegas telah mengkonfirmasi bahwa akta hibah saham itu tidak ada prestasi pembayaran. Dalam akta hibah saham sebagaimana diatur dalam Pasa l666 KUHPerdata memang tidak mengatur masalah pembayaran.”Menurutnya, proses hibah saham dalam perkara ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mana pembeli dan penerima hibah saham tidak menerima pembayaran. “Tidak ada kewajiban membayar dalam ketentuan tersebut. Namanya saja sudah akta hibah saham, maka tidak ada kewajiban bayar.”Fredrik berkeyakinan pendapat ahli hokum bisnis itu menjadi acuan bagi majelis hakim dalam memutus perkara sengketa bisnis antara kliennya dengan kedua penggugat yang menuntut adanya pembayaram dalam proses pengalihan saham melalui akta hibah saham.Menurutnya, gugatan para penggugat sangat tidak beralasan dan terkesan kontradiktif. “Pada satu sisi jawabannya, kuasa hukum para penggugat itu mengakui adanya akta hibah saham yang terjadi dalam pengambilalihan saham PT Ridlatama Tambang Mineral. Tapi, pada bagian lainnya yang bersangkutan meminta adanya pembayaran.” (bas)