MALANG: Pemberlakuan pembatasan uang muka kredit pemilikan rumah minimal 30% yang efektif per Juni diprediksikan akan menghambat pengadaan rumah, termasuk rumah sederhana, karena berat bagi end user untuk menyediakan uang muka sebesar itu.
Wakil Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) Jawa Timur Tri Wedyanto, mengatakan memang ada kemudahan bagi pegawai negeri sipil berupa bantuan uang muka kepemilikan rumah dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum) dan buruh anggota Jamsostek lewat program Pinjaman Uang Muka Kerja Sama Bank (PUMPKB).
“Namun bantuan uang muka masih belum cukup untuk menutup uang KPR sebesar 30%. Kekurangannya masih banyak,” kata Tri Wedyanto di Malang, hari ini.
Di sisi lain, lanjut dia, jika penyediaan uang muka dibebankan pada pengembang lewat mekanisme kredit dan end user mengangsur uang muka sulit direalisasikan.
Pertimbangannya, karena pengembang tidak mempunyai dana yang besar. Di samping itu, mereka tidak mempunyai keahlian menangani masalah tersebut. Keahlian mereka pada penyediaan rumah.
Jika ketentuan tersebut dipaksakan, dia yakinkan, maka bisnis perumahan akan terganggu. Penyerapan rumah yang disediakan pengembang tidak akan lancar.
Karena itulah, kata Tri yang juga Wakil Ketua Tim Percepatan Pembangunan Rumah Sederhana, mestinya ketentuan tersebut ditiadakan dan dikembalikan ketentuan lama atau setidaknya ditunda sampai ada tanda-tanda non performing loan (NPL) KPR menaik.
Pertimbangan usulan dimaksud, lanjut dia, karena saat ini NPL KPR masih rendah. Di sisi lain, sumber daya manusia (SDM) perbankan sebenarnya cukup ahli untuk menangani KPR.
Mereka tidak akan gegabah dalam memberikan persetujuan penyaluran KPR. Mereka tetap memperhatikan aspek kehati-hatian.
Pertimbangan lainnya, collateral KPR berupa tanah dan bangunan sangat likuid. Setiap tahun harganya naik.
Dengan jika terjadi kredit macet, maka aset yang dimiliki bank berupa tanah dan bangunan cukup likuid. Justru menguntungkan perbankan.
Dia menyesalkan, mengapa kebijakan seperti itu bisa muncul. Kesan yang muncul, tidak ada koordinasi antar-lembaga negara, terutama dalam hal ini Bank Indonesia dengan Kementerian Perumahan Rakyat.
Mestinya, menurut dia, kebijakan dalam perumahan harusnya ada sinergi berbagai lembaga. Contohnya kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dengan besaran terentu, maka KPR yang berhak mendapat FLPP dibebaskan dari pajak.
Dengan demikian, maka harus ada sinergi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Perumahan Rakyat. “Jadi mestinya ada semacam SKB dari lembaga negara maupun kementerian terkait masalah perumahan.”
Sebelumnya diberitakan DPP REI mengirim surat permintaan penundaan pemberlakuan kebijakan pembatasan uang muka kredit minimal 30% ke Bank Indonesia.
Handoko Santosa, Wakil Ketua Umum DPP REI, meminta supaya BI menunda pemberlakuan kebijakan itu sampai NPL KPR mengkhawatirkan.(msb)
BERITA FINANSIAL PILIHAN REDAKSI:
METRODATA ELECTRONICS Siapkan Right Issue
PASAR SURAT UTANG: Investor Cenderung Wait & See
Danareksa Investment Rilis RDPT Infrastruktur
AKSI ALIBABA: Berniat Beli Sahamnya Dari Yahoo! Senilai US$7 Miliar
HARGA EMAS: Pasar Keuangan Tertekan, Logam Mulia Melonjak
TRANSAKSI AFILIASI: Adi Karya Pinjamkan APR Rp57,1 Miliar
TOPIK AKTUAL PILIHAN REDAKSI:
KASUS NARKOBA: Sabu-Sabu Di Sumut Banyak Berasal Dari Malaysia
TRAGEDI SUKHOI: Wah.. Ada Dugaan Penipuan Jamsostek!
JUSUF KALLA: Memimpin Bisnis Beda Dengan Pemerintahan
DAUD YORDAN Naik Ring Lagi Juli
ENGLISH NEWS:
PALM OIL Climbs As Biggest Weekly Drop In 5 Months Lures Buyers
PLN To Spend IDR2.54 Trillion For VILLAGE ELECTRICITY Program
ARC Broadens Relationship With ANGLO AMERICAN In Indonesia
MARKET OPENING: Index Fall 46.79 Point
MARKET MOVING: BCA Eyes IDR4 Trillion Infrastructure Loans
RUPIAH Advances Most In Two Weeks On CHINA Pledge
JANGAN LEWATKAN> 5 Kanal TERPOPULER Bisnis.Com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google
News dan WA Channel