JAKARTA: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Inteletual (HKI) menargetkan penurunan peredaran barang palsu sebesar 30% tahun ini. Langkah tersebut sejalan dengan komiten pemerintah untuk memberikan kepastian hukum atas HKI.
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Ahmad M. Ramli mengatakan target penurunan tersebut mencakup seluruh jenis pelangaran HKI a.l terkait merek, paten dan hak cipta.
“Kami menargetkan peredaran barang-barang palsu dapat turun sebesar 30% tahun ini. Sejauh ini berbagai upaya untuk mendukung target tersebut terus kami lakukan,” katanya saat ditemui hari ini, Rabu 25 April 2012.
Selain itu,Dia mengatakan target penurunan peredaran barang palsu tersebut juga didorong penilaian United States Trade Representative yang menempatkan Indonesia dalam daftar negara pelanggar berat hak cipta atau priority watch list pada 2011.
Dia berharap target penurunan peredaran barang palsu tersebut dapat terealisasi sehingga Indonesia dapat keluar dari kategori priority watch list.
“Kalau lembaga tersebut [United States Trade Representative] obyektif seharusnya tahun ini Indonesia dapat keluar dari priority watch list. Sejauh ini upaya pembrantasan barang bajak terus kami lakukan,” jelasnya.
Menurut dia, tingginya pembajakan CD dan VCD saat ini merupakan faktor utama yang menyebabkan Indonesia masuk priority watch list. Oleh karenanya, lanjutnya, pemberantasan terhadap CD dan VCD bajakan menjadi prioritas.
Tidak hanya itu, Ramli mengatakan untuk mengakomodir pengakan hukum HKI di Indonesia, pihaknya tengah merevisi UU Merek. Dalam revisi tersebut, jelasnya, akan dimasukan unsur pemberatan sanksi khususnya terhadap pelanggaran merek farmasi (obat-obatan).
“Tahun ini kami akan ajukan ke DPR [revisi UU Merek] dan diharapkan dapat disahkan tahun ini juga,” katanya.
Untuk memperingati hari HKI ke XII, Ditjen HKI hari ini melakukan pemusnahan barang bukti pelanggaran HKI berupa VCD, DVD dan blueray sebanyak 64.954 keping.
Ditemui ditempat yang sama, Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI) Justisiari Perdana Kusumah menilai target pemerintah tersebut bukan menjadi hal yang mustahil sepanjang pemberantasan barang palsu tersebut didukung oleh semua pihak.
“Kalau hanya mengandalkan PPNS mungkin agak berat karena secara jumlah masih sedikit. Tapi kalau masyarakt pun secara sadar mendukung dengan tidak membeli barang palsu maka akan sangat mudah bagi kita,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) pada 2010 barang palsu yang paling banyak dikonsumsi masyarakat adalah pakaian, software, dan barang dari kulit.
Persentase barang palsu tersebut yakni untuk pakaian sebesar 30,2%, software 34,1%, barang dari kulit 35,7%, spareparts 16,8%, lampu 16,4%, elektronik 13,7%,rokok 11,5%,minuman 8,9%, pestisida 7,7%, oli 7%, kosmetik 7%, farmasi 3,5%. (sut)